Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Sejarah dan System pendidikan di India

Gambar
Sejarah Pendidikan di India Rakyat India terbagi menjadi 4 Kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Pada masa India kuno penyelenggara pendidikan adalah Kasta Brahmana. Karena kasta Brahmana terdiri dari kaum pendeta. Kasta ksatria terdiri dari kaum bangsawan, prajurit, mereka menerima pengajaran dalam membaca, menulis, berhitung dan ilmu siasat perang. Kasta Waisya terdiri dari para tukang, pedagang, peladang dan sebagainya. Kasta waisya mendapat pengajaran dalam bidang pertanian. Kasta paling rendah yaitu kasta sudra dianggap sebagai manusia yang hina, hanya dapat melakukan pekerjaan budak dan tidak berhak mendapatkan pendidikan. Ciri  ciri pendidikan pada masa itu adalah: 1.  Pendidikan agama diutamakan. Dasar pendidikannya adalah kitab suci orang India yaitu veda 2.  Kasta Brahmana yang menjadi penyelenggara pendidikan 3.  Mempunyai tujuan pendidikan yaitu untuk mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan mistik dengan ilmu pengetahuan sebagai alatnya 4. Pendidikan un

Sejarah dan Sistem Pendidikan di Indonesia

Gambar
Pendidikan yang Berlandaskan Ajaran Keagamaan Pendidikan Hindu-Budha Ajaran Hindu dan Budha memberikan corak pada praktik pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai),Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya). Prasasti tertua yang ditemukan di Kutai dan di Tarumanegara merupakan peninggalan agama Hindu. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Indonesia, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau padepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastr

Pengertian Istihad

Gambar
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Syari’at islam yang di sampaikan dalam Al-Qur’an dan Al-sunnah secara komperhensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafadz ‘am-khos, muthlaq-muqayyad, nasikh-mansukh, dan muhkam-mutasyabbih, yang masih memerlukan penjelasan. Sementara itu, nash Al-Qur’an dan sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti. Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash tersebut. Disini peran ijtihad sangatlah penting. Didalam makalah ini akan di bahas mengenai ijtihad, apakah yang disebut dengan ijtihad, apakah semua orang boleh melakukan ijtihad, dan bagaimanakah langkah-langkah atau cara berijtihad, serta akan membahas pula 3 tiang agama islam. Rumusan Masalah Mengenai rumusan masalah yang kan di bahas ialah mengenai

Makalh; Pengertian Hadist

Gambar
Pengertian hadits secara etimologi (lughawiyah) al-hadits bermakna al-jadid (sesuatu yang baru), dilawankan kepada makna al-qadim (sesuatu yang lama). Kata al-hadits ini sering juga dimaknakan dengan al-khabar (berita). Secara bahasa hadits juga bermakna komunikasi, cerita, perbincangan seputar religius, historis atau kontemporer. Sedangkan pengertian hadits secara terminology (istilah) dapat didefinisikan sebagai berikut; الْحَدِيْثُ هُوَ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, سَوَاءً كَانَ قَوْلًا أوْ فِعْلًا اَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً. “Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.” Atau dalam redaksi lain dapat didefinisikan; الْحَدِيْثُ هُوَ مَا اُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا اَوْفِعْلًا اَوْتَقْرِيْرًا اَوْ نَحْوَهَا. “Hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, pernyataan/ketetapan (taqrir) dan se