Sejarah dan Sistem Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang Berlandaskan Ajaran Keagamaan
Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran Hindu dan Budha memberikan corak pada praktik pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai),Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya). Prasasti tertua yang ditemukan di Kutai dan di Tarumanegara merupakan peninggalan agama Hindu. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Indonesia, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau padepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.
Menjelang periode akhir, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa:
Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu;
Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Para saudagar asal Gujarat yang beragama Islam itu kemudian menjadi penyebar agama Islam di Indonesia. Ajaran Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudera-Pasai di Aceh, yang didirikan tahun 1297 oleh Sultan Malik Al-Saleh. Namun diperkirakan pengaruh Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum berdirinya Samudera-Pasai. Hal ini terbukti dengan adanya batu nisan di Leran, dekat Gresik, Jawa timur, yang menyebutkan tentang meninggalnya seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 476 H (1082 M).
Di pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia (terutama dari Cina, India, dan Indonesia), didapati pendidikan agama Islam dimasa pra-kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Pendidikan agama di langgar dilaksanakan secara sederhana dengan bimbingan guru ngaji yang statusnya dibawah kyai. Materi yang diajarkan umumnya membaca Al-quran dan fikih dasar.
Di pesantren, para santri tinggal di tempat pemondokan sederhana yang biasanya disebut “pondok”. Sifat khusus pengajaran di pesantren antara lain :
Pelajaran bersifat keagamaan
Penghormatan yang tinggi kepada guru
Tidak ada gaji atau upah untuk guru karena motivasinya semata-mata karena Allah
Santri datang secara sukarela untuk menuntut ilmu
Selain itu, ada juga pendidikan di madrasah yang bukan hanya mengajarkan agama, melainkan juga ilmu pengetahuan seperti astronomi (ilmu falak) dan ilmu pengobatan. Pendidikan Indonesia baru mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun hingga datangnya kolonial Belanda dan bahkan hingga sekarang ketiga corak pendidikan Islam, yaitu pendidikan di langgar, pesantren dan madrasah tetap bertahan.
Pendidikan Katholik dan Kristen-Protestan
Pendidikan katholik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang portugis yang menguasai Malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa (yang saat itu harganya sangat mahal), mereka selalu disertai misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai penasehat spiritual dalam perjalanan yang jauh dan penyebar agama di tanah yang di datanginya. Misi mereka yang dikenal sebagai misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk setempat sebagai pemeluk Katolik-Roma. Kemudian di tempat itu didirikan seminar-seminar untuk mendidik anak-anak setempat. Namun kekuasan Portugis tidak berlangsung lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Belanda menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
Pendidikan Masa Penjajahan
Indonesia pernah mengalami masa penjajahan, baik yang pada masa penjajan Belanda maupun masa penjajahan Jepang. Sehingga, tidak mengherankan apabila pengaruhnya sangat kuat dalam segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer.
Secara garis besar, sejarah pendidikan di Indonesia terbagi atas sistem pendidikan masa pra kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pemerintahan Republik Indonesia.
Pendidikan Pada Zaman VOC
Sabagaimana Bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempah denga mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemudian diikuti dengan misi penyebaran agama yang terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda dan sebagian menggunakan Bahasa Melayu. Dirikan sekolah-sekolah yang di arahkan untuk kepentingan mendukung misi VOC di Nusantara.
Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zamankolonial Belanda. Tugas untuk mengatur pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh kompeni (institusi dagang) kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan. Meskipun tetap berpihak pada kepentingan Belanda, system pendidikan pun berubah menjadi lebih “terbuka”. Muatan keagamaan yang di masa-masa sebelumnya sangat kental, diimbangi dengan muatan pengetahuan dan keterampilan yang mendukung kepentingan Belanda.
Mulai akhir abad ke-19 dan hingga darsawarsa awal abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangat beragam, meliputi sekolah dasar, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah kejuruan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk mengimbangi pendidikan Belanda, pada periode ini berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan bercorak keagamaan dan kebangsaan oleh Muhammadyah, Taman Siswa, Ins Kayutanan, Ma’arif, dan perguruan Islam lainnya.
Pada masa ini, pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu: pendidikan rendah, pendidikan menengah, pendidikan kejuruan, dan pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan pada masa penjajahan Belanda lebih dititikberatkan kepada memenuhi kebutuhan pemerintah Belanda, yaitu tersedianya tenaga kerja murah untuk hegemoni penjajah dan untuk menyebarluaskan kebudayaan Barat.
Jepang
Pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, Jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status sosial. Tanpa membedakan status social mulai di buka tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Menengah Pertama (SPM) selama tiga tahun, Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah dikejuruan juga di kembangkan, yaitu Sekolah Pertukangan, Sekolah Teknik Menengah, Sekolah Pelayaran, Sekolah Pelayaran dan Sekolah Pelayaran Tinggi.Ditingkatkan pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang berarti bagi Indonesia dikemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah Jepang. Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara Cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada Kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian direkrut untuk menjadi tentara.Tujuan pendidikan lebih ditekankan kepada dihasilkannya tenaga buruh kasar secara cuma-cuma dan prajurit-prajurit untuk keperluan peperangan Jepang.
Pendidikan Zaman Perjuangan Indonesia
Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan ditandai oleh munculnya gerakan pendidikan yang dipelopori oleh Muhammadiyah, Perguruan Taman Siswa, INS Kayutanam, Pendidikan Ma’arif dan perguruan ialam lainnya.
Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme Bangsa Mula-mula misi utama Muhammadiyah adalah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk anak mencerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar Islam.
Muhammadiyah didirikan di kampong Kauman, Yogyakarta, pada tahun 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan pada tahun 1911. Dalam perkembangannya kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) 3 tahun. Muhammadiyah juga kemudian mendirikan sekolah rakyat 3 tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan(Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan sebuah MULO yang diberi subsidi oleh pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middelbare School (AMS) yang mendapat bantuan dari para intelektual Indonesia yang beraliran nasional danHolland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing sekitar 50%.
Dalam alam kemerdekaan, usaha-usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan ini semakin meluas dan meningkat, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga tingkat perguruan tinggi. Cabang-cabang Muhammadiyah tumbuh diman-mana di seluruh Indonesia. Selain dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial.
Taman siswa
Taman Siswa secara jelas menunjukkan sifatnya yang nasionalis dan pedagogis serta kultural. Walaupun bukan suatu organisasi politik, Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu di pengasingan di negeri belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar memahami arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Kegiatan pendidikan diberikan kepada mereka yang berusia muda dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang dikalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Institut Taman Siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah. Taman Siswa didasarkan atas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan pengertian sebagai berikut :
Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pemimpin.
Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dengan gambaran diatas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberi andil yang sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
INS Kayutanam
Sekolah ini didirikan sebagai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlangsung saat itu oleh Muhammad Syafi’ei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapat pelajaran dalam berbagai bidang Di INS sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat
Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing –masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannya” (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementerian Penerangan, hlm.778). INS kayutaman mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”.
Disamping dikembangkan atas dasar-dasar prinsip pedagogis, INS juga memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya, yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang pada ssat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Prinsip tidak menggantungkan diri kepada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafi’ei sendiri yang menolak tawaran Pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka. Hanya pemberian yang tidak mengikat secara moral yang diterimanya.
Meskipun praktik dan gagasan pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan INS Kayutanam tidak berkembang diluar daerahnya. Para lulusan yang dihasilkannya juga tidak cukup mendapat bekal untuk mendapatkan tempat dimaysarakat sehingga dapat dikatakan keuntungan pendidikan hanya dirasakan oleh perorangan siswa.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan pada masa perang kemerdekaan (tahun 1949) INS Kayutanam ditutup. MuhammadSyafei sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Ia tutup usia pada tahun 1966.
Pendidikan Ma’arif
Awal pendidikan ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yang diberi nama Taswirul Afkar. Kursus ini kemuadian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Lembaga pendidikan ma’arif dalam bentuk madrasah mula-mula berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya, dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula, corak pendidikannya menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke dalam kurikulumnya.
Muktamar II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat Islam, dan menolak bantuan Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, Muktamar NU yang dilaksanakan setiap tahun selalu memberikan perhatian khusus pada pengembangan pendidikan Ma’arif. Basis pendidikan ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. hal inilah antara lain yang membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan system pendidikan sekolahnya dengan menerapkan menejemen modern.
Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami 5 kali perubahan, mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan berbangsa kita. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946 , tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan sangat menekankan penanaman jiwa patriotisme.hal ini dapat dipahami, maka penanaman jiwa patriotism melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan Negara yang baru diproklamasikan.Antisipasi tersebut kemudian terbukti benar dengan terjadinya agresi Balanda terhadap Negara berdaulat Republik Indonesia.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan, tidak lagi semata-mata menekankan jiwa patriotisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, Sehingga pendidikan dan pengajaran berdasar asas-asas yang termaktub dalam pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan asas kebudayaan bangsa Indonesia. Rumusan tujuan yang sama diulang lagi dalam Undang-Undang No. 12/1954 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI.
Perubahan tujuan pendidikan nasional tersebut berimplikasi pada perubahan kurikulum yang saat itu disebut rencana pelajaran. Kurikulum yang semula berorientasi pada kepentingan colonial Belanda diubah sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang telah merdeka. Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an ditujukan untuk :
Meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
Meningkatkan pendidikan jasmani,
Meningkatkan pendidikan watak,
Memberikan perhatian pada kesenian,
Menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
Mengurangi pendidikan pikiran.
Butir (6) pada dasarnya merupakan reaksi terhadap pendidikan kolonial yang amat menekankan aspek intelektualitas dan mengabaikan pendidikan watak.
Dibawah pengaruh Manipol-Usdek, pada tahun 1965 rumusan tujuan pendidikan nasional mengalami perubahan. Dalam keputusan Presiden No.145 tahun 1965 tentang nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan rumusan tujuan pendidikan nasional kemudian diperluas dan dipertajam dalam GBHN 1973
Rumusan yang tertuang dalam GBHN 1973 substansinya terus dipertahankan dengan hanya mengalami sedikit perubahan – yaitu berupa penambahan sifat manusia Indonesia yang hendak dibangun melalui pendidikan – hingga GBHN 1998. Dengan substansi yang sama meskipun rumusannya agak berbeda, tujuan tersebut juga tertuang dalam UU No. 2 /1989 tentang system pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan di Indonesia
Sistem Persekolahan
Sistem persekolahan yang berlaku di Indonesia pada masa awal kemerdekaan meliputi 3 tingkatan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Sistem persekolahan tersebut terus dipertahankan hingga tahun 1980-an. Akhir tahun 1960-an, kalaupun terjadi perubahan, hal itu lebih pada bentuk kelembagaannya. Misalnya dihapuskannya SGB, diubahnya SGA menjadi SPG, dan lebih dikembangkannya jenis-jenis sekolah menengah kejuruan. Setelah berlakunya UU No 2/1989 tentang system pendidikan nasional diadakan perubahan, antara lain bahwa Pendidikan Dasar merupakan pendidikan umum yang lamanya 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP. Jadi SLTP merupakan pendidikan umum, sehingga akibatnya sekolah pertama kejuruan dilebur menjadi SLTP.
Perkembangan lain yang penting dicatat pada era 1945-1969 ialah berdirinya 42 Perguruan Tinggi Negeri berupa universitas, institute, dan sekolah tinggi yang umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebagai “era pertumbuhan PTN”.
Berbeda dengan pada zaman kolonial Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semua orang, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Dalam UU Pendidikan No. 4/1950 dan UU No. 12/1954, pasal 17, disebutkan bahwa, “tiap-tiap warga Negara republic Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu”.
Ciri yang menonjol diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya amat beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. pada tanggal 1 Juni 1946 dibentuk Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan kebudayaan yang bertugas:
Memberantas buta huruf,
Menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, dan
Mengembangkan perpustakaan rakyat.
Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Sunarya, Pendidikan nasional adalah sistem pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup suatu bangsa dan tujuannya bersifat mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut.
Sementara itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, merumuskan bahwa pendidikan nasional ialah suatu usaha yang membimbing para warga negara Indonesia menjadi Pancasila, yang berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar.
Dalam Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I Pasal 2 berbunyi: Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar dari pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dasar ini dapat dilihat dari Pembukaan UUD 1945 alinea 4 batang tubuh UUD 1945 Bab XIII Pasal 31.
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pen didikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi pendidikan nasional sebagai berikut:
Alat membangaun pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan, dan pengembangan bangsa Indonesia.
Menurut Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 Bab II Pasal 3 “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”.
Komponen-Komponen dan Sarana Penunjang Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Komponen-komponen sistem pendidikan nasional
Pendidikan nasional merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemampuan intelektual, kemampuan sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan yang merupakan komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional tersebut dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu satuan pendidikan sekolah dan satuan pendidikan luar sekolah.
Satuan Pendidikan Sekolah
Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan. Berdasarkan jenjang dan sifatnya, pendidikan sekolah dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
Pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Sarana Penunjang Komponen-Komponen Sistem pendidikan
Keberhasilan komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponen-kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita adalah: kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan pengelolaan.
Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum disusun sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasiona. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan : peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi,kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20 thn 2003 pasal 36).
Tenaga Pendidik
Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan. Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, penga-was, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Mereka seharusnya merupakan orang-orang yang profesional yang menguasai tugasnya dan memiliki dedikasi dalam melaksanakan tugasnya.
Sumber Daya Pendidikan
Berhasilnya suatu satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar dan dana yang memadai.
Jalur Pendidikan
Jalur Pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk:
Akademi
Politeknik
Sekolah Tinggi
Institut
Universitas
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan vokasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah sistem berasal dari bahsa Yunani “systema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia mempunyai landasan ideal adalah Pancasil, landasan konstitusional ialah UUD 1945, dan landasan operasional ialah ketetapan MPR tentang GBHN
Visi Pendidikan Nasional: terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi Pendidikan Nasional: Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan. keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Inonesia.
DAFTAR ISI
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
H. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
H. Fuad Ihsan. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakata: Rineka Cipta, 2003.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Pt. Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
Tadjab,Perbandingan Pendidikan, Karya Abditama, Surabaya, 1994.
Komentar
Posting Komentar