Makalh; Pengertian Hadist
Pengertian hadits secara etimologi (lughawiyah) al-hadits bermakna al-jadid (sesuatu yang baru), dilawankan kepada makna al-qadim (sesuatu yang lama). Kata al-hadits ini sering juga dimaknakan dengan al-khabar (berita). Secara bahasa hadits juga bermakna komunikasi, cerita, perbincangan seputar religius, historis atau kontemporer.
Sedangkan pengertian hadits secara terminology (istilah) dapat didefinisikan sebagai berikut;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, سَوَاءً كَانَ قَوْلًا أوْ فِعْلًا اَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً.
“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”
Atau dalam redaksi lain dapat didefinisikan;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا اُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا اَوْفِعْلًا اَوْتَقْرِيْرًا اَوْ نَحْوَهَا.
“Hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, pernyataan/ketetapan (taqrir) dan sebagainya.”
Hadits secara khusus merupakan penuturan yang disandarkan pada perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dituturkan kembali oleh para sahabatnya.
Hadits menjadi sandaran ajaran islam atau ia menjadi penjelasan dari ajaran-ajaran yang disebutkan di dalam Al-Qur’an baik mengenai kehidupan social, keagamaan dan perbuatan sehari-hari sampai dengan tata cara mengenakan sandal sekalipun. Hadits merupakan dasar atau sumber kedua hukum islam setelah Al-Qur’an.
Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Dalam menjelaskan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, tentu secara structural hadits menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an dalam jajaran sumber hukum islam, dan secara fungsional merupakan bayan terhadap Al-Qur’an.
Menurut Imam Syafi’i fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an ada dua. Pertama, untuk menkonfirmasikan semua yang diwahyukan Allah SWT. Kedua, untuk memberi kejelasan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan menerangkan bentuk perintah yang diturunkan apakah bersifat umum atau khusus dan bagaimana cara melaksanakannya. Sementara itu, bentuk sunnah itu sendiri menurut imam Syafi’i ada tiga. Pertama, sunnah yang menegaskan seperti apa-apa yang dinashkan oleh Al-Qur’an. Kedua, sunnah yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Ketiga, sunnah yang berdiri sendiri yang tidak punya kaitan dengan nash Al-Qur’an.
Dalam literatur ushul fiqh dan literatur hadits, secara umum terdapat tiga fungsi hadits terhadap Al-Qur’an;
Bayan al-taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-taqlid. Yang dimaksud bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.
Bayan al-tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq dan ‘am. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal dan memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum.
Bayan al-nasakh
Kata al-nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bisa berarti al-ibdal (membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir (mengubah).
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Adapun otoritas sunnah sebagai tasyri’ adalah sebagai penetap hukum yang bersifat independen dalam kasus yang Al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya. Bayan al-tasyri’ mengandung pengertian yaitu penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an.
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “bayan za’id ‘alaa al-kitab al-karim.” (tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Disebut tambahan disini karena sebenarnya didalam Al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadits tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu.
Perbedaan Hadits, Khabar dan Atsar
Hadits secara istilah;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, سَوَاءً كَانَ قَوْلًا أوْ فِعْلًا اَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً.
“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”
Contoh hadits berdasarkan perkataan Nabi SAW;
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ اُذُنِهِ الْيُمْنَ وَاَقَامَ فِى الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ اُمُّ الصِّبْيَانِ.
“barangsiapa yang lahir anaknya, maka azanlah pada telinga kanannya dan iqamahlah pada telinga kirinya, maka anak itu tidak dimudharatkan oleh jin (tidak kena penyakit kanak-kanak).” (diriwayatkan dalam kitab ibnu sunni dari hasan bin ali)
Contoh hadits berdasarkan perbuatan Nabi SAW;
عَنِ ابِنِ عُمَرَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا.
Dari Ibnu Umar: “Rasulullah SAW berkhotbah dua khotbah pada hari jum’at dengan berdiri, dan beliau duduk diantara dua khotbah itu.” (Riwayat Bukhori)
Khabar menurut pendapat ahli hadits ialah;
الْخَبَرُ هُوَ مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ غَيْرِهِ مِنْ اَصْحَابِهِ اَوِ التَّابِعِيْنَ اَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ اَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ.
“Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW ataupun yang lainnya, yaitu sahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in atau generasi setelahnya.”
Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran) berpendapat bahwa khabar adalah segala ucapan, perbuatan dan ketetapan yang pertalian periwayatnya sampai kepada Nabi (marfu’). Contoh Khabar dari Abu Bakar Asy-Syibli berkata;
لَوْ دَفَنْتُمْ حَلَاوَةَ الْوَصْلَةِ لَعَرَفْتُمْ مَرَارَةَ الْقَطِيْعَةِ
“Jika engkau merasakan nikmatnya dekat (bersama Allah SWT), engkau akan merasakan pahitnya jauh dari Allah SWT.”
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa khabar maknanya lebih umum. Semua hadits adalah khabar, namun belum tentu semua khabar adalah hadits.
Atsar secara istilah menurut ahli hadits ialah;
الأَثَرُ هُوَ مَا جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِن الصَّحَابَةِ اَوِ التَّابِعِيْنَ اَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ اَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ.
“Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi SAW, yaitu dari sahabat, tabi’in atau geberasi setelah mereka.”
Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran) berpendapat bahwa atsar ialah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang pertalian periwayatnya (sanad) hanya sampai kepada sahabat Nabi SAW (Mauquf). Contoh atsar sahabat dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra.:
مَنْ كَانَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَتِ الْجَنَّةُ فِيْ طَلَبِهِ وَمَنْ كَانَ فِيْ طَلَبِ الْمَعْصِيَةِ كَانَتِ النَّارُ فِيْ طَلَبِهِ
“siapa saja yang mencari ilmu maka surga akan berada dalam pencariannya, siapa saja yang mencari kemaksiatan maka neraka akan berada dalam pencariannya.”
Hadits dan Sinonimnya
Sandaran
Aspek dan Spesifikasinya
Sifatnya
Hadits
Nabi
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), persetujuan (taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il)
Lebih umum
Atsar
Sahabat dan Tabi’in
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il)
Umum
Perbedaan Hadits Qudsi, Hadits Nabawi dan Al-Qur’an
Hadits Qudsi
Hadits qudsi disebut juga hadits Ilahi dan hadits Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuahan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang Maha Suci dan dinamakan hadits karena Nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah SWT. Definisi hadits qudsi ialah;
كُلُّ قَوْلٍ أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Segala perkataan yang disandarkan Rasul kepada Allah SWT.
Hadits Nabawi
Pada hadits nabawi, Nabi SAW menjadi sandaran sumber pemberitaan. Hadits nabawi lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat.
Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan kata Al-Qur’an tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi kalam Allah (‘alam murtajal). Dr. shubhi Shalih dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an sebagai berikut;
الْكَلَامُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِا لتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.
Kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi SAW tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.
Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan perkataan manusia dan bukan pula perkataan malaikat.
Hadits Nabawi
Lafal dan makna disandarkan kepada Nabi
Hadits Qudsi
Lafal dari Nabi sedangkan maknanya disandarkan kepada Allah SWT
Al-Qur’an
Dari Allah SWT
Sedangkan pengertian hadits secara terminology (istilah) dapat didefinisikan sebagai berikut;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, سَوَاءً كَانَ قَوْلًا أوْ فِعْلًا اَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً.
“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”
Atau dalam redaksi lain dapat didefinisikan;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا اُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا اَوْفِعْلًا اَوْتَقْرِيْرًا اَوْ نَحْوَهَا.
“Hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, pernyataan/ketetapan (taqrir) dan sebagainya.”
Hadits secara khusus merupakan penuturan yang disandarkan pada perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dituturkan kembali oleh para sahabatnya.
Hadits menjadi sandaran ajaran islam atau ia menjadi penjelasan dari ajaran-ajaran yang disebutkan di dalam Al-Qur’an baik mengenai kehidupan social, keagamaan dan perbuatan sehari-hari sampai dengan tata cara mengenakan sandal sekalipun. Hadits merupakan dasar atau sumber kedua hukum islam setelah Al-Qur’an.
Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Dalam menjelaskan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, tentu secara structural hadits menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an dalam jajaran sumber hukum islam, dan secara fungsional merupakan bayan terhadap Al-Qur’an.
Menurut Imam Syafi’i fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an ada dua. Pertama, untuk menkonfirmasikan semua yang diwahyukan Allah SWT. Kedua, untuk memberi kejelasan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan menerangkan bentuk perintah yang diturunkan apakah bersifat umum atau khusus dan bagaimana cara melaksanakannya. Sementara itu, bentuk sunnah itu sendiri menurut imam Syafi’i ada tiga. Pertama, sunnah yang menegaskan seperti apa-apa yang dinashkan oleh Al-Qur’an. Kedua, sunnah yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Ketiga, sunnah yang berdiri sendiri yang tidak punya kaitan dengan nash Al-Qur’an.
Dalam literatur ushul fiqh dan literatur hadits, secara umum terdapat tiga fungsi hadits terhadap Al-Qur’an;
Bayan al-taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-taqlid. Yang dimaksud bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.
Bayan al-tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq dan ‘am. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal dan memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum.
Bayan al-nasakh
Kata al-nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bisa berarti al-ibdal (membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir (mengubah).
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Adapun otoritas sunnah sebagai tasyri’ adalah sebagai penetap hukum yang bersifat independen dalam kasus yang Al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya. Bayan al-tasyri’ mengandung pengertian yaitu penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an.
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “bayan za’id ‘alaa al-kitab al-karim.” (tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Disebut tambahan disini karena sebenarnya didalam Al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadits tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu.
Perbedaan Hadits, Khabar dan Atsar
Hadits secara istilah;
الْحَدِيْثُ هُوَ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, سَوَاءً كَانَ قَوْلًا أوْ فِعْلًا اَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً.
“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”
Contoh hadits berdasarkan perkataan Nabi SAW;
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ اُذُنِهِ الْيُمْنَ وَاَقَامَ فِى الْيُسْرَى لَمْ تَضُرُّهُ اُمُّ الصِّبْيَانِ.
“barangsiapa yang lahir anaknya, maka azanlah pada telinga kanannya dan iqamahlah pada telinga kirinya, maka anak itu tidak dimudharatkan oleh jin (tidak kena penyakit kanak-kanak).” (diriwayatkan dalam kitab ibnu sunni dari hasan bin ali)
Contoh hadits berdasarkan perbuatan Nabi SAW;
عَنِ ابِنِ عُمَرَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا.
Dari Ibnu Umar: “Rasulullah SAW berkhotbah dua khotbah pada hari jum’at dengan berdiri, dan beliau duduk diantara dua khotbah itu.” (Riwayat Bukhori)
Khabar menurut pendapat ahli hadits ialah;
الْخَبَرُ هُوَ مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ غَيْرِهِ مِنْ اَصْحَابِهِ اَوِ التَّابِعِيْنَ اَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ اَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ.
“Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW ataupun yang lainnya, yaitu sahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in atau generasi setelahnya.”
Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran) berpendapat bahwa khabar adalah segala ucapan, perbuatan dan ketetapan yang pertalian periwayatnya sampai kepada Nabi (marfu’). Contoh Khabar dari Abu Bakar Asy-Syibli berkata;
لَوْ دَفَنْتُمْ حَلَاوَةَ الْوَصْلَةِ لَعَرَفْتُمْ مَرَارَةَ الْقَطِيْعَةِ
“Jika engkau merasakan nikmatnya dekat (bersama Allah SWT), engkau akan merasakan pahitnya jauh dari Allah SWT.”
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa khabar maknanya lebih umum. Semua hadits adalah khabar, namun belum tentu semua khabar adalah hadits.
Atsar secara istilah menurut ahli hadits ialah;
الأَثَرُ هُوَ مَا جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِن الصَّحَابَةِ اَوِ التَّابِعِيْنَ اَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ اَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ.
“Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi SAW, yaitu dari sahabat, tabi’in atau geberasi setelah mereka.”
Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran) berpendapat bahwa atsar ialah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang pertalian periwayatnya (sanad) hanya sampai kepada sahabat Nabi SAW (Mauquf). Contoh atsar sahabat dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra.:
مَنْ كَانَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَتِ الْجَنَّةُ فِيْ طَلَبِهِ وَمَنْ كَانَ فِيْ طَلَبِ الْمَعْصِيَةِ كَانَتِ النَّارُ فِيْ طَلَبِهِ
“siapa saja yang mencari ilmu maka surga akan berada dalam pencariannya, siapa saja yang mencari kemaksiatan maka neraka akan berada dalam pencariannya.”
Hadits dan Sinonimnya
Sandaran
Aspek dan Spesifikasinya
Sifatnya
Hadits
Nabi
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), persetujuan (taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il)
Lebih umum
Atsar
Sahabat dan Tabi’in
Perkataan (qaul), perbuatan (fi’il)
Umum
Perbedaan Hadits Qudsi, Hadits Nabawi dan Al-Qur’an
Hadits Qudsi
Hadits qudsi disebut juga hadits Ilahi dan hadits Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuahan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang Maha Suci dan dinamakan hadits karena Nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah SWT. Definisi hadits qudsi ialah;
كُلُّ قَوْلٍ أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Segala perkataan yang disandarkan Rasul kepada Allah SWT.
Hadits Nabawi
Pada hadits nabawi, Nabi SAW menjadi sandaran sumber pemberitaan. Hadits nabawi lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat.
Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan kata Al-Qur’an tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi kalam Allah (‘alam murtajal). Dr. shubhi Shalih dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an sebagai berikut;
الْكَلَامُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِا لتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.
Kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi SAW tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.
Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan perkataan manusia dan bukan pula perkataan malaikat.
Hadits Nabawi
Lafal dan makna disandarkan kepada Nabi
Hadits Qudsi
Lafal dari Nabi sedangkan maknanya disandarkan kepada Allah SWT
Al-Qur’an
Dari Allah SWT
Komentar
Posting Komentar