MAKALAH SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN FIQIH



Ilmu fiqih adalah salah satu ilmu keislaman yang hingga kini cukup berkembang, hal ini terbukti dengan kekayaan warisan khazanah klasik yang dimilikinya hingga maraknya berbagai kegiatan atau forum kajian ilmu fiqih seperti bahts al-masâil fiqhiyah yang dilakukan lembaga dan ormas-ormas Islam maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Namun yang tampaknya perlu mendapat perhatian khusus adalah munculnya kesan kuat dalam masyarakat, bahwa Islam yang mereka pahami adalah fiqih itu sendiri, karena ia menyajikan aturan dan rambu-rambu hukum yang jelas sehingga dapat mereka jadikan pegangan.

 

Ini mengindikasikan kedudukan fiqih sebagai sebuah ilmu sering belum dapat dimaknai secara proporsional, sehingga cenderung tidak dibedakan mana ajaran dasar Islam yang bersifat absolut, dan mana ajaran fiqih yang bisa berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika sosial. Bertolak dari fenomena tersebut, tulisan sederhana ini mencoba menguraikan tentang apa hakekat ilmu fiqih dan apa obyek kajiannya? Masalah ini sangat urgen untuk dibahas, disatu sisi agar kita dapat lebih memiliki pemahaman yang benar tentang dimensi ontologi fiqih, dan di sisi lain untuk melihat sejauh mana fiqih dapat dipandang sebagai ilmu sesuai kriteria dalam filsafat ilmu

 

SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN FIQIH

 

Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab agama Islam itu sendiri merupakan kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang akidah, ibadah, dan mua’amalah. Semua bidang ini pada masa Rasulullah diterangkan di dalam al-Qur’an sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rasulullah dalam sunnahnya.

 

Hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an atau sunnah kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadinya suatu kasus atau merupakan keputusan dari Rasulullah ketika memutuskan suatu masalah. Jadi pada masa itu sumber fiqih hanya ada dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah.

 

Kemudian dimasa sahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang sebelumnya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa baru tersebut para sahabat terpaksa berijtihad. Dalam ijtihad terjadi dua kemungkinan, yaitu terjadi kesepakatan pendapat antar para sahabat yang disebut dengan “ijmak” dan terjadi perbedaan pendapat yang disebut dengan istilah “atsar”.

 

Hasil ijtihad pada masa itu tidak dibukukan sehingga belum dapat dinamakan dengan ilmu tetapi hanya merupakan pemecahan terhadap masalah. Karena itu hasil ijtihad belum dinamakan dengan fiqih dan para sahabat belum dapat dinamakan fuqoha.  

 

Pada abad kedua dan ketiga hijriyyah, yang dikenal dengan tabi’in, tabi’ti tabi’in dan imam-imam madhab, daerah yang dikuasai umat Islam makin luas, bukan bangsa-bangsa yang bukan Arab memeluk Islam. Karena itu banyak timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena kasus baru inilah yang memaksa para fuqoha untuk berijtihad untuk mencari hukum kasus tersebut. Dan dimasa ini dimulai gerakan pembukuan sunnah, fiqih dan berbagai ilmu yang lain.

 

Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqih disebut dengan “fuqoha” dan ilmu pengetahuan mereka disebut dengan “fiqih”. Melihat perkembangan fiqih di atas sangat nampak bahwa syari’at Islam melalui hukum praktisnya berupa hukum-hukum fiqih terus berusaha menjawab dan sekaligus memberi aturan yang rapi bagi tata kehidupan umat Islam. khususnya melalui metode ijtihad, hampir semua problematika kontemporer saat ini dapat ditemukan solusinya untuk kemudian muncul hukumnya.

 

HAKEKAT ILMU FIQIH

Kata “fiqih” secara etimologis berarti "paham" atau "paham yang mendalam". Selain itu “fiqih” juga dapat dimaknai dengan "mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik". Kalau dalam tinjauan morfologi, kata fiqih berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti “mengerti atau paham”.

 

Jadi perkataan fiqih memberi pengertian kepahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.6 Sedangkan definisi fiqih secara terminologi, para fuqoha’ (ahli fiqih) memberikan artian sesuai dengan perkembangan dari fiqih itu sendiri. Tepatnya pada abad ke-II telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan madhab-madhab yang tersebar di kalangan umat Islam.

 

Yang pertama yaitu Abu Hanifah ( yang memberikan pengertian fiqih .علمنيبيمن ايحقوقمىايوحقىحتيم ي ;berikut sebagai 7 Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syari'ah dan akhlak tanpa ada pemisahan di antara aspek-aspek tersebut. Pada masa imam Syâfi'i8 (150-204H/767-822M), para ulama’ Syafi’iyyah memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini karena ilmu fiqih cukup berkembang seiring tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh jawaban atau kepastian hukum. Di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut, “Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang digali dari dalildalil yang jelas (terperinci).” Pengertian fiqih yang dikemukakan tersebut lebih spesifik dari pada yang diketengahkan oleh definisi fiqih pada masa sebelumnya, yaitu dengan memunculkan term ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang tentunya hal ini penting dalam mengngkap hakikat dari ilmu fiqih. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya berbagai disiplin keislaman yang mengharuskan pembidangan secara tegas terhadap fiqih, para ulama mulai memunculkan pengertian yang spesifik megenai ilmu fiqih. Al-Said al-Juraini sebagaimana dikutip oleh Nazar Bakry mengemukakan pengertian ilmu fiqih sebagai berikut; “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

 

Fiqih adalah ilmu yang diperoleh dengan jalan ijtihad dan membutuhkan penalaran dan taammul”. Pengertian yang dikedepankan oleh al-Said al-Juraini lebih spesifik daripada pengertian yang sebelumnya, yaitu dengan menyebutkan al-ahkam, al-syar’iyyah, al-‘amaliyyah, istinbat, ijtihad, nadhor.

 

Kemudian kata “al-‘amaliyyah”11 itu menunjukkan bahwa ilmu fiqih itu sifatnya praksis (pengamalan), artinya bahwa fiqh itu hanya menyangkut perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, yang berarti masalah i’tiqodiyah (keimanan) seperti tetapnya sifat qudroh bagi Allah, tidak termasuk dalam lingkup fiqh. Kemudian kata “ ” mengandung pengertian bahwa fiqh itu hasil penggalian dan penemuan mujtahid atas ketentuan yang belum secara eksplisit disebut dalam nash. Dengan demikian mengecualikan ilmunya Allah yang sifatnya adalah dhorury. Kata " " dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh, karena ia hanya taqlid (mengikuti) saja. Kemudian kata “ " itu menunjukkan akan dalil-dalil yang digunakan fuqaha’ itu adalah dalil yang jelas (terperinci).

 

Semisal cara pengambilan hukum wajib pada sholat yang berasal dari ayat “aqimu alsholat”. Kata “aqimu” adalah amar yang dilalahnya (penunjukannya) adalah ke hukum wajib, jadi hukum sholat adalah wajib.13 Dengan demikian fiqih akan mengarahkan terhadap suatu perbuatan itu bisa dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh ataupun mubah, yang disebut dengan hukum taklifi (hukum yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf).

 

Ataupun mengarahkan pada hukum wad’i, yakni hukum yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf, seperti tenggelamnya matahari adalah tanda masuknya kewajiban sholat Maghrib. Dengan memahami beberapa pengertian yang dikemukakan beberapa tokoh di atas nampak jelas bahwa hakikat ilmu fiqih meliputi hal-hal sebagai berikut; (1) fiqih adalah ilmu tentang hukum syara', (2) fiqih membicarakan 'amaliyah furû'iyyah mukallaf (3) pengetahuan tentang hukum syara' didasarkan pada dalil terperinci, (4) fiqih itu digali dan ditemukan melalui ijtihâd. Berdasar atas rumusan tersebut, memang fiqih disebut sebagai ilmu, meskipun ada yang berpendapat bahwa “fiqih” tidaklah sama dengan “ilmu”.

 

Karena ilmu harus bersifat koheren, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Bahkan kadang didefinisikan secara ketat, ilmu haruslah empiris dan memiliki nilai kepastian. Sementara fiqih adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzonnya, sedangkan ilmu haruslah tidak bersifat dzonniy. Namun demikian, karena dzon dalam fiqh itu dipandang cukup kuat, maka ia mendekati ilmu. Apalagi ukuran ilmu pada masa-masa itu belumlah sedetail dan serumit saat ini.

 

Jadi dengan demikian ilmu fiqih bisa dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Kemudian ketika ilmu fiqih dikaitkan dengan hakekat sesuatu dalam perspektif filsafat, maka termasuk dalam wilayah ontologi. Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu ini berusaha untuk menjawab "apa",15 yang menurut Aristoteles merupakan The Fisrt Philosophy, yang membahas esensi benda.

 

Dapat juga dinyatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dengan demikian ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.

 

Kemudian jika dikaitkan dengan hakekat fiqih, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan mengenai definisi fiqih dari beberapa tokoh yang selanjutnya ditelaah sesuai dengan kaidah filsafat ilmu. Bertolak dari definisi fiqih yang telah dikemukakan oleh beberap tokoh ilmu fiqih di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diperoleh melalui penggalian atau istinbat dari dalil-dalil syraa’ oleh ahli fiqih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah