Makalah Ahlussunnah wal Jama’ah

 


BABI

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Nahdatul ‘ulama sebagai organisasi keagamaan (Jam’iyah Islamiyah) besar, malah mungkin “terbesar” dalam anggotanya di indonesia, sejak berdirinya pada tanggal 31 Januari 1926 M telah menyatakan diri sebagai organisasi Islam berhaluan “Ahlussunnah wal Jama’ah”, yang dalam aqidah mengikuti aliran Asy’ariyah-Maturidiyah, dalam syari’ah fiqih mengikuti salah satu madzab empat Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, dan dalam Tashawuf mengikuti AL-Junaidi dan Al-Ghazali. Disamping itu, dalam mukhtamar NU di Situbondo 1994, dirumuskan watak dan karakter NU sebagai organisasi (Jam’iyah) dan komunitas NU (Jama’ah), mempunyai sikap kemasyarakatan dan budaya (sosio-kultural) yang Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran), dan Tawazun (harmoni). Kepemimpinan NU selama ini dipercayakan kepada para Ulama yang dipandang memiliki dimensi kepemimpinan yang memadai, yakni dimensi kepemimpinan ilmiah, kepemimpinan sosial, kepemimpinan spiritual dan kepemimpinan administratif. Organisasi NU ini sejak dulu mempunyai kepedulian terhadap kehidupan bangsa dan negara (politik), dan partisipasinya dalam masalah berbangsa dan bernegara tersebut telah diwujudkan dengan berbgai macam manifestasi politik, mulai dari gerakan kebangsaan, perang merebut kemerdekaan, masuk dalam pemerintahan menjadi partai politik dan aktifitas politik praktis lainnya. Sampai menjadi kekuatan moral bangsa yang ikut mempengaruhi warna politik nasional. Semua sikap, prilaku dan kiprah, serta perannya dalam semua hal tersebut ternyata tidak terlepas dari akar dan nilai-nilai teologis ysng diyakini dan norma-norma syariah yang dijunjung tinggi, serta kesadaran sepiritual/rohaniah yang dihayati, yakni keyakinan ahlussunnah wal jama’ah, serta doktrin-doktrin dan metodologi pemahamannya. Visi kejam’iyahan dan kejama’ahan ini kiranya tidak di ambil secara kebetulan, tetapi karena kesadaran dan pertimbangan obyektif, bahwa NU didirikan untuk kemaslahatan bangsa indonesia yang dipluralistik (majemuk) baik dalam keagamaan, kesukuan, kedaerahan maupun kebudayaannya. NU merasa membawa missi keislamannya sebagai rahmat bagi kehidupan semesta (rahmatan li al’alamin).



B.     Tujuan

1.      Mengetahui biografi sejarah singkat NU

2.      Untuk mengetahui pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari

3.      Untuk menelusuri sejauh mana perkembangan K.H. Hasyim Asy’ari dan NU

4.      Mencari tahu tentang apa itu Aswaja ( Ahlusunnah Waljama’ah )

5.      Untuk mengetahui Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari

6.      Untuk Mengetahui Tokoh-Tokoh NU

C.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah singkat NU ?

2.      Apa saja yang dihasilkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari?

3.      Sudah sejauh mana perkembangan K.H. Hasyim Asy’ari dan NU?

4.      Apa itu pengertian Aswaja ( Ahlusunnah Waljama’ah )?

5.      Apa saja karya-karya yang dihasilkan K.H. Hasyim Asy’ari?

6.      Siapa sajakah tokoh-tokoh pendiri NU?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

A.    Sejarah Singkat Biografi NU ( Nahdatul ‘ulama ) 

NU ( Nahdatul ‘ulama )  adalah Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di Surabaya..
Organisasi ini berdiri dipicu oleh tindakan penguasa baru Arab Saudi berpaham wahabi yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan progran pemurnian ajaran islam. Kala itu pemerintahan, antara lain, menggusur petilasan sejarah islam, seperti makam beberapa pahlawan islam dengan dalih mencegah kultus individu.[1] Mereka juga melarang sesuatu yang dianggap bid’ah seperti membaca al-barzanji yang dianggap sebagai kultus individu. Pemerintah Arab Saudi juga melarang mazhab-mazhab selain mazhab wahabi, selain pemerintah Arab Saudi ingin menjadi kekholifahan yang diakui eksistensinya secara internasional oleh negara yang berpenduduknya beragama islam.

Keadaan ini adalah salah satu alasan berdirinya NU. Karena undangan itu sekiranya akan juga dihadiri oleh beberapa organisasi di Indonesia, namun orang-orang yang “tradisional” ini tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas ide-ide wahabi mencoba untuk membuat trobosan baru yaitu mendirikan “komite hijaz”Komte hijaz ini kemudian berangkat sendiri ke Arab untuk menyampaikan beberapa keberatan dan komite ini tidak ada kaitannya dengan delegasi lain dari Indonesia. Setelah menyampaikan beberapa pesan kepemerintah Arab Saudi mereka pulang dan kemudian komite ini dibakukan untuk menjadi oraganisasi. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan.

Berdirinya organisasi NU ini merupakan salah satu fenomena yang luar biasa. Sebab, didirikan oleh orang-orang yang dianggap kolot, tradisi tidak mempunyai kemampuan dan kecerdasan berorganisasi. Organisasi ini sendiri sebenarnya tidak pernah lepas dari tangan dingin seorang kiai yaitu K.H Hasyim Asy’ari.[2]

Jadi, antara kiai Hasyim Asy’ari dengan NU seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, NU ada atas prakarsa beliau dan beliau adalah simbol dari NU. Hubungan NU dan K.H.Hasyim Asy’ari ini digambarkan oleh Mas’ud sebagai Bapak Spiritual NU. Berdirinya NU yang dibidangi oleh K.H.Hasyim Asy’ari dan K.H.Wahab Hasbullah tidak lepas dari pengaruh K.H.Khalil dan juga K.H.As’ad Samsul Arifin. K.H.As’ad pada waktu berdirinya NU masih bersetatus santri K.H.Khalil dan sekaligus mediator antara K.H.Hasyim dengan gurunya dari Bangkalan. As’ad bercerita; berdirinya NU tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan olen perizinan dari bupati atau gubernur, tapi langsung dari Allah Swt. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para wali sembilan. Karena itu, didalam simbol NU terdapat bintang berjumlah sembilan. Itu menandakan berdirinya NU tidak terlepas dari perjuangan para wali sembilan.

B.     Petualangan Politik NU ( Nahdatul ‘ulama ) 

Satu aspek menarik dari sejarah NU adalah hubungan dan keterlibatannya dalam dunia politik. Ini erat kaitannya dengan posisi para kiai sebagai pemimpin umat di satu sisi, dan dengan kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam di sisi, kebijakan Belanda untuk merongrong ajaran Islam dilihat sebagai masalah serius yang dengan sendirinya mengundang perhatian pemimpin Islam baik dari kalangan NU maupun Muhammaddiyah. Jurang perbedaan antara keduanya terdapat terbukti dapat dikesampingkan ketika kedua organisasi ini berkoalisi membentuk MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia ) dalam tahun 1937 yang salah satu missinya adalah mengupayakan keseragaman sikap umat Islam dalam menghadapi kebijakan Belanda.[3] Keterlibatan politik NU berlanjut saat lahirnya Masyumi ( Majelis Syuro Muslim Indonesia ), di mana tokoh-tokoh NU berada pada posisi penting kepemimpinan. Dan keterlibatan politik NU praktis semakin intens.

Pada tahun 1952, setelah didahului perbedaan pendapat antar berbagai unsur Masyumi, NU menyatakan keluar dari partai ini : bukan untuk meninggalkan kancah politik, tetapi justru untuk menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keputusan ini penting ini dicapai dalam muktamar NU diPalembang. Maka mulailah satu babakan baru dalam perjalanan politik NU yang relatif berhasil berkat dukungan massa pesantren. Peralihan Indonesia dari Orde lama ke Orde Baru pada pertengahan 1960-an membawa perobahan besar dalam suasana politik. Salah satu aspeknya adalah keinginan untuk memperkecil jumlah partai berhaluan Islam yang lain bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangun ( PPP ). Paling tidak pada awalnya pengaruh NU  dalam PPP sangat besar, sebelum unsur MI ( seperti J. Naro dan Ismail Hasan Mentereum ) menjadi lebih dominan sejak era 1980-an.[4]

Yang lebih relevan di tekankan adalah bahwa keterlibatan NU dalam politik praktis ternyata telah mengakibatkan terabaikannya bidang-bidang yang semula merupakan prioritas organisasi sosial keagamaan ini. Dengan terserapnya sebagian besar energi di bidang politik, bidang-bidang dakwah, sosial, pendidikan, dan budaya jadi terbengkalai. Banyak usahan-usaha yang telah dirintis sebelum NU terjun dalam dunia politik menjadi tidak berkembang.

Lalu muncullah kritik-kritik dari dalam tubuh NU sendiri, dalam ujud pencarian kembali identitas aslinya sebagai jam’iyah diniyah. Akumulasi dari atokritik ini dapat dilihat dalam popularitas semboyan “kembali ke Khittah 1926” sejak awal dekade 1970-an. Semakin banyak yang menyadari bahwa NU telah terlalu jauh meninggalkan cita-cita dan jiwa yang melandasi pendiriannya ditahun NU kembali ke Khittah tersebut.

C.    K.H. Hasyim Asy’ari Sebagai Pembela Aswaja (Ahlussunah Waljama’ah)

Sebagai integral dari Riwayat hidup K.H. Hasyim Asy’ari maka disini akan dikemukakan pula mengenai status Ahlu Sunnah Wa Al-jama’ah diwarisi oleh orang-orang NU sampai saat ini. K.H. Hasyim Asy’ari adalah orang yang sangat menekankan untuk mengikuti aliran Ahlussunah Wa aljama’ah dikalangan orang-orang NU istilah Ahlussunah Wa aljama’ah dikenal dengan Aswaja. Konsep ini dapat dilihat dalam anggaran dasar pertama NU dan peraturan yang disusun pada tahun 1930-an. K.H. Hasyim Asy’ari adalah tokoh yang tidak perlu disangsikan lagi dalam menyerukan Aswaja ini. Sebab beliau adalah tokoh utama berdirinya NU dan juga tokoh yang membuat undang-undang dasar utama  di NU.[5]

Aswaja yang dimaksud oleh NU adalah dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari empat mazhab Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali. Namun rupanya yang yang paling dominan adalah Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi yan diikuti adalah mazhab Abu Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi. Dibidang Sufisme, NU mengikuti corak berpikirnya Imam al-Ghazali dan Abu Qasim al-junaidi. Oleh karena itu, NU mengklaim dirinya adalah golongan Ahlussunah Wa aljama’ah menurut versi yang dipahaminya.[6] Pemikiran seperti ini sebenarnya akar-akarnya sudah ada sejak islam berkembang dan dikembangkan oleh WaliSongo. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Walisongo adalah para tokoh yang membawa ajaran dari beberapa Imam mazhab dan juga beberapa sufi.

Selain konsep tentang aswaja seperti yang disebutkan diatas, NU juga menekankan arti penting dari tasamuh ( Toleransi dalam bidang yang masih dalam perdebatan ), tawasuth atau adl, tawazun ( menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah dan hamba, ) terutama dalam mu’amalah dan pergaulan dan amar makruf dan nahi munkar. Sikap tasamuh adalah sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau masalah khilafiyyah ; serta dalam masalah kemasyarakatan kebudayaan. Tawasuth adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama, bukan serba kompromistis dengan mencampur adukkan semua unsur, juga bukan mengucilkan diri dengan menolak pertemuan unsur apapun.

D.     Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari Tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[7]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya.[8] Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didirikan kiai Hasyim

E.     Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari Tentang Sosial

Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri. Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab.[9] Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.

 

BAB III

A.    Pengertian Ahlussunah waljama’ah ( NU )

1. Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara bahasa

·                  Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.

·                  Ahlussunnah : orang – orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.)

·                  Wal Jama’ah : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul.

Dengan demikian secara bahasa /aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.[10]

2. Secara Istilah

Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan keagamaan NU.

Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi NU yaitu :

1. Tawasuth

2. Tasamuh

3. Tawazun

4. Amar ma’ruf nahi munkar.

B.     Sejarah pertumbuhan Ahlussunah Waljama’ah (NU)

Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja ( ahlussunah waljama’ah) mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.

‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak”.

Adapun maksud perkumpulan ini yaitu : Memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhab Imam Empat, yaitu: Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an Nu’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam.”[11]

Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :

·                  Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.

·                  Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.

·                  Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.

 

C.    K.H. Hasyim Asy’ari dan NU

K.H. Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).[12]

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.[13] Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”

D.    Karya-Karya K.H. Hasyim Asy’ari

“Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut”:

 (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.[14]

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula

E.     Tokoh – tokoh Pendiri ( NU )

1.      K.H. Hasyim Asy’ari ,Rais Akbar (ketua) pertama NU.

2.      K.H. Abdul Wahab hasbullah

3.      K.H. Bisri Syansuri

4.      K.H. Muhammad Ali Maksum

5.      K.H. Achmad Muhammad Hasan Siddiq

6.      K.H. Hasan Gipo

7.      K.H. Idham Chalid

8.      K.H. Abdurrahman Wahid

9.      K.H. Ali Yafie

10.  K.H. Mohammad Ilyas Ruhiat

11.  KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz

12.  K.H. Hasyim Muzadi

13.  Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A.[15]

BAB IV

PENUTUP

A.    Kesimpulan

-Dari materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar,

-Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis), Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi.

-Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal-Jamaah dan pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU

-Untuk dapat memahami tentang isi makalah kami, kami petik dari inti sari  pemakalah yaitu :

a.       Biografi sejarah singkat NU

b.      Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang NU baik bidang pendidikan & sosial

c.       Perkembangan politik K.H. Hasyim Asy’ari dan NU

d.      Pengertian Aswaja ( Ahlusunnah Waljama’ah ) perkembangan dan pertumbuhannya

e.       Karya-karya yang dihasilkan K.H. Hasyim Asy’ari

f.       tokoh-tokoh pendiri NU

 

B.     Saran-saran

Perlu adanya bimbingan khusus untuk masyarakat pada umunya dan pelajar maupun mahasiswa pada khususnya untuk lebih mempelajari seluk beluk mauapun sejarah tentang Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, peran tokoh masyarakat yang mendukung untuk lebih meningkatkan NU di mata masyarakat.

 

DAFTRA PUSTAKA

Asari, Hasan,  Modernisasi Islam, ( Bandung : Cipta Pustak, 2007 )

A.    Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren,  ( PT. Diva Pustaka : Jakarta. 2004 )

 

Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve : Jakarta. 2003).

KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999,

Muzadi, Hasyim Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, ( Logos, Jakarta : 1999, )

Ma’arif, Samsul Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim Asy’ari, ( Jakarta : Kanza  2011 )

http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama jam : 13.25 sabtu 22-03-2014

http://grupsyariah.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-ahlussunnah-wal.html, jam : 13.25 sabtu 22-03-2014

 

 

 

 

 

 



[1] Samsul Ma’arif  Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim Asy’ari, ( Jakarta : Kanza  2011 ) hlm. 100

[2] Ibid halm. 101-102

[3] Hasan Asari, Modernisasi Islam, ( Bandung : Cipta Pustak, 2007 ) hlm. 230-231

[4] Ibid hlm.232

[5] Samsul Ma’arif,  Ibid  hlm. 103

[6] Ibid  hlm. 104-105

[7] A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren,  ( PT. Diva Pustaka : Jakarta. 2004 ) hlm. 320

[8] Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve : Jakarta. 2003). hlm. 309

[9] Ensiklopedia Islam, Ibid. hlm. 309

[10] KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999,

 

[11]http://grupsyariah.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-ahlussunnah-wal.html, jam : 13.25 sabtu 22-03-2014

[12] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, ( Logos, Jakarta : 1999, ) hlm. 55

[13] Ibid hlm. 57

[14] A. Mujib, Ibid  hlm. 321

[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama jam : 13.25 sabtu 22-03-2014

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah