Makalah Pengertian Tafsir

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.     Latar belakang

Kebutuhan tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan mulai di kembangkan setelah abad kedua hijriyah. Dimana mulai era kodifikasi ilmu hadis. Sehingga perkembangan al quran dengan al quran, penafsiran al quran dengan hadis dan penafsiran al quran dengan pendapat sahabat.

Berikut beberapa penjabaran mengenai perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad saw, sahabat, serta tabi’in.

 

2.     Rumusan masalah

a.      Apa pengertian tafsir?

b.     Bagaimana tafsir pada masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in?

c.      Bagaimana perkembangan tafsir pada masa sekarang?

 

3.     Tujuan penulisan

Diharapkan agar pembaca memahami lebih jauh bab tentang tafsir dan sejarah perkembangannya.

BAB II

                                                          PEMBAHASAN

1.     Pengertian Tafsir

Tafsir menurut bahasa di ambil dari kata fassara-yufassiru, yang berarti menjelaskan, atau dari kata fasrun yang berarti membuka, membedah sesuatu yang rumit. Secara linguistik tafsir dapat diartikan usaha membedah problema yang rumit untuk bisa di mengerti orang lain. Pengertian tafsir dapat di telusuri dalam al-quran, sebagaimana firman Allah swt:

ولا ياتونك بمثل الا جئنك بالحق واحسن تفسير                                               

Artinya: “ Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” (QS. Al-Furqan [25]: 33).

Sedangkan tafsir menurut terminologinya berarti keterangan mengenai makna yang di maksudkan al-quran baik dalam kerangka pemikirannya masing-masing atau berpatokan pada riwayat dan pengetahuan seseorang. Ilmu tafsir di definisikan sebagai ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadz-lafadz al-quran, dalil-dalil yang di kemukakannya, dan hokum-hukumnya baik yang bersifat spesifik maupun sistematik serta makna-maknanya yang di ungkapkan dengan bahasa yang mudah dimengerti.[1]

 

2.     Tafsir pada Masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat

Periode Nabi dan sahabat dijadikan satu di dalam kajian ini karena pola dan metode penafsiran Al-Qur’an yang diberikan oleh sahabat tidak terdapat perbedaan yang berarti dari penafsiran yang diberikan oleh Nabi, kecuali dari sudut sumber. Jika tafsir Nabi berasal dari Allah langsung atau lewat Malaikat Jibril atau dari pribadi beliau sendiri, penafsiran sahabat bersumber dari Al-Qur’an, Nabi, dan ijtihad mereka.

Pada waktu Rasulullah saw. Masih hidup, tafsir Al-Qur’an diberikan langsung oleh beliau berdasarkan wahyu atau ilham dari Allah SWT, baik langsung dari-Nya maupun melalui malaikat Jibril. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw adalah Penafsir pertama dan utama bagi Al-Qur’an.[2]

Setiap Rasulullah saw selesai menerima wahyu (Al-Qur’an), beliau langsung menyampaikan nya kepada para sahabat. Kalau ada kosakata atau ayat yang tidak dimengerti, mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah saw. Rasul pun menerangkannya dengan jelas sampai mereka mengerti dan puas. Sebagai contoh ketika turun surat Al-An’am ayat 82 yang berbunyi :          

الذين امنوا ولم يلبسوا ايما نهم بظلم اولئك لهم الامن وهم مهتدون                                                         

artinya: “orang – orang yang beriman dan tidak mencampurkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang – orang yang mendapat keamanan dan mereka itu pulalah orang – orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am : 82)

Para sahabat gelisah, lalu langsung menanyakan kepada Nabi, “siapakah di antara kami yang tidak pernah menganiaya dirinya?” lalu Nabi menjawab pertanyaan ini dengan menafsirkan lafal بظلم didalam ayat itu dengan “syirik”, berdasarkan firman Allah SWT pada akhir ayat 13 dari Surat Luqman:

واذ قال لقمن لابنه وهو يعظه يبني لا تشرك بالله . ان الشرك لظلم عظيم                         

Artinya:“sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah suatu kezaliman yang besar”. (QS. Luqman:13)[3]

Dengan penjelasan Nabi itu, mereka menjadi lega dan tentram. Begitulah cara rasulullah saw. Menjelaskan lafal – lafal Al-Qur’an yang masih global atau sulit di pahami oleh para sahabat sehingga mereka memperoleh pemahaman yang benar tentang maksud yang terkandung di dalam ayat – ayat yang di turunkan. Kemudian, pemahaman seperti itu di teruskan pada sahabat kepada tabi’in, dan dari tabi’in di lanjutkan kepada tabi’inat – tabi’in, demikian seterusnya sampai pada periode pembukuan tafsir.

Penafsiran yang di berikan oleh Nabi itu meliputi bidang akidah, ibadah, dan muamalah mulai dari hubungan berkeluarga sampai hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam situasi damai maupun dalam peperangan.

Nabi menjelaskan ayat – ayat Al-Qur’an kepada mereka melalui sabda – sabda, perbuatan dan persetujuan (taqrir). Para sahabat pada umumnya terdiri atas orang – orang Arab asli yang banyak memiliki keistimewaan, seperti kekuatan hafalan, kecerdasan otak, kepandaian merangkum keterangan, dan kemahiran mengetahui ungkapan bahasa. Kondisi ini memungkinkan mereka memahami Al-Qur’an secara lebih baik sehingga kebutuhan terhadap tafsir Al-Qur’an pada waktu itu masih belum begitu terasa. Oleh karena itu tafsir pada masa Nabi masih sedikit, apalagi Nabi tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an, kecuali yang dirasa sukar dan yang ditanyakan kepada beliau oleh para sahabat.

Setelah Rasulullah saw. Wafat pada tahun 11 H (632 M), para sahabat makin giat mempelajari Al-Qur’an dan memahami makna – maknanya dengan jalan riwayat secara lisan, dari mulut ke mulut, dari sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak mendengarkan hadis dan tafsir dari Nabi.

Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Nabi saw. Mereka banyak mendengar tafsiran Nabi dan memahami serta menghayatinya dengan baik. Mereka menerima bacaan ayat – ayat Al-Qur’an langsung dari Nabi.[4] Yaitu sehabis ayat tersebut diterima beliau. Mereka menyaksikan peristiwa yang melantarbelakangi turunnya ayat dan mengetahui persesuaian ayat yang satu dan yang lain. Mereka menguasai bahasa Arab secara baik, mengetahui dan menghayati budaya serta adat – istiadat bangsa Arab.

Semua itu merupakan sumber tafsir yang besar manfaatnya bagi mereka untuk dapat memahami dan menerangkan arti ayat dengan benar dan baik.

 

Berdasarkan kenyataan itu, sumber – sumber tafsir Al-Qur’an pada masa sahabat ini paling tidak ada empat macam, yaitu

a.      Al-Qur’anul Karim;

b.     Hadis – hadis Nabi saw;

c.      Ijtihad dan kekuatan istinbat (melalui bahasa, budaya, dan adat kebiasaan bangsa Arab);

d.     Cerita ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani[5]

Dilihat dari segi sumber – sumber tafsir tersebut, bentuk tafsir para sahabat pada umumnya adalah al-ma’sur, yaitu penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber yang diriwayatkan atau diterima dari Nabi dari pada pemikiran (ar-ra’yu).

Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai metode tafsir ijmali (global), yaitu menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an secara singkat dan ringkas, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata – kata yang sukar dengan sedikit keterangan.

Dengan demikian, sistematika penafsiran para sahabat amat sederhana, uraian tafsirannya menoto, seperti urutan ayat – ayat di dalam mushaf, tidak ada judul atau sub – sub judul dan sebagainya.

Ruang lingkup penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran yang diberikan melebar dan global, tidak mendalam dan merinci suatu kasus atau peristiwa, dan belum difokuskan pada sesuatu bidang pembahasan tertentu atau boleh disebut tafsiran bercorak umum.[6]

3.     Periode Tabi’in dan Tabi’inat – Tabi’in (abad II H/VIII M)

Periode pertama adalah periode Nabi dan sahabat. Periode ini berakhir pada masa meninggalnya sahabat yang terakhir bernama Abu Tufail al-Laisi pada tahun 100 H di kota mekkah.[7]

Setelah itu mulailah periode kedua, yaitu periode tabi’in dan tabi’inat – tabi’in, kira – kira dari tahun 100 H/732 M sampai dengan 181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya tabi’in terakhir, khalaf bin Khulaifat (w. 181 H), sedangkan generasi tabi’in – tabi’in berakhir pada tahun 220 H.[8]

 

a.      Sumber – sumber Tafsir Tabi’in

Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat – ayatnya tentang tafsirnya, para tabi’in berlandaskan pada ayat – ayat Al-Qur’an, hadis – hadis yang di riwayatkan Rasulullah saw., dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi serta cerita – cerita dari para ahli kitab. Disamping itu, mereka juga menggunakan dasar hasil ijtihad mereka sendiri, baik bersandar pada kaidah – kaidah bahasa Arab maupn ilmu – ilmu pengetahuan lain.

Dengan demikian, sumber – sumber penafsiran pada zaman ini meliputi lima macam, yaitu

1)     Al-Qur’an;

2)     Hadis – hadis Nabi saw.;

3)     Tafsir dari para sahabat;

4)     Cerita – cerita dari para ahli kitab (israiliyat);

5)     Ra’yu atau ijtihad.[9]

Kegiatan tafsir di kalangan tabi’in dan tabi’inat – tabi’in ini merupakan kelanjutan dari tafsir yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

b.     Bentuk, Metode dan Ruang Lingkup Tafsir pada Masa Tabi’in

Dilihat dari segi sumber – sumber tersebut tafsir pada masa tabi’in umumnya berbentuk al-ma’sur, seperti halnya pada masa sahabat. Jika ditinjau dari sudut cara penafsiran, secara umum.[10] Tafsiran mereka memakai metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir para sahabat, tetapi belum masuk kategori tahlili (analisis).

Dari sudut ruang lingkup, tafsir para tabi’in pada umumnya belum difokuskan pada suatu bidang pembahasan tertentu, sama halnya dengan tafsir para sahabat yang masih melebar, meliputi bidang – bidang ibadah, mu’amalah, munakahat, jinayat, dan lain – lain. Jadi, dari sudut ruang lingkup tafsir, kedua periode itu belum banyak berubah, tidak seperti tafsir pada masa mutaqaddimin dan mataakhirin yang sudah mulai difokuskan pada bidang – bidang tertentu sebagaimana akan diuraikan nanti.

c.      Pusat – pusat Pengajian Tafsir pada Periode Tabi’in

Negara islam pada masa ini telah membentang luas dari negeri Cina di timur sampai ke utara Spanyol di barat, atau hampir sepertiga luas peta bumi kita ini.[11] Oleh karena itu, para sahabat dan tabi’in  serta tabi’inat  - tabi’in tidak menetap pada satu daerah saja, misalnya di medinah, tetapi menyebar ke daerah – daerah lain yang telah dikuasai oleh Islam.

Di daerah baru itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru, hakim, dan sebagainya. Mereka datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan keahlian masing – masing, terutama hadis – hadis dan tafsir yang mereka terima dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, para penuntut ilmu dating berduyun – duyun untuk belajar meriwayatkan hadis – hadis dan tafsir dari para sahabat dan tabi’in.

Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat – pusat kajian islam, seperti madrasah diniyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Guru – gurunya adalah para sahabat, antara lain sebagai berikut.

1)     Di Mekah pusat kajian di pimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H), Sa’id bin Jubair (w. 93), Mujahid bin Jabr (w. 103 H), Ikrimah (w. 105 H), Tawus bin Kaisan (w. 106 H), Ata’ bin Rabah (w. 114 H).[12][13]

2)     Di Medinah pusat kajian di pimpin oleh Ubayy bin Ka’ab, yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada tokoh – tokoh tabi’in, seperti Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), dan Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H). kemudian kepada mereka bertiga inilah para tabi’in yang lain dan tabi’inat – tabi’in belajar tafsir.[14]

3)     Di Irak pusat kajian dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud. Meskipun disana ada guru tafsir dari sahabat – sahabat yang lain, Ibnu Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Irak dan di Kufah atas perintah Khalifah Umar.[15]

Ahli – ahli tafsir dari tabi’in Irak yang merupakan murid – murid Ibnu Mas’ud, antara lain yang terkenal ialah Alqamat bin Qays (w. 102 H), Masruq (w. 63 H), Al – aswad bin Yazid (w. 75 H), Murrah al – Hamdani (w. 76 H), Amir asy-Sya’bi (w. 105 H), al-Hasan al-Bishri (w. 110 H), Qatadah bin Di’amah (w. 117 H).

d.     Ciri – ciri Tafsir Tabi’in dan Tabi’at – tabi’in

Tafsir generasi ini berbeda dari tafsir para sahabat dalam hal sebagai berikut.

1)     Memuat banyak cerita israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lama yang tidak menyangkut soal hukum syariat, seperti tentang permulaan penciptaan alam, rahasia alam, dan cerita umat – umat dahulu.

2)     Pada generasi ini mulai terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang – orang tertentu atau yang di senangi saja, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari ibnu Abbas. Demikian pula para musafir Irak, mereka hanya meriwayatkan tafsir ibnu Mas’ud, sedangkan musafir medinah meriwayatkan tafsir sahabat Ubayy bin Ka’ab.[16]

3)     Pada zaman ini mulai tumbuh benih – benih fanatisme mazhab sehingga sebagian tafsir tabi’in ada yang cenderung mempertahankan pendapat imam mazhabnya secara berlebihan.[17]

 

Di antara mereka yang berusaha mengumpulkan dan menulis hadis – hadis tafsir itu ialah Zaid bin Harun as – Silmi (w. 117 H), Syu’bah bin al–Hujjaj (w. 160 H), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin ‘Uyainat (w. 198), Abdur-Razzaq bin Humam (w. 211 H), dan lain – lainnya.[18]

Tulisan mereka dari imam – imam tafsir yang terdahulu di nukilkan secara musnad (dengan diterangkan siapa – siapa yang meriwayatkannya). Sayangnya karya mereka tidak ada yang sampai kepada kita sekarang ini. Oleh karena itu, sulit sekali untuk melacak dan menentukan orisinalitas penafsiran mereka itu sebagaimana diakui oleh az-Zahabi.[19]

4.     Perkembangan Tafsir di masa sekarang

yang dimaksud dengan zaman modern di sini ialah sejak abad XIV hijriah atau akhir abad XIX Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi islam di mesir oleh jamaluddin Al-Afghani (1254 H/1838 M – 1314 H/1896 M) dan murid beliau Muhammad Abduh (1266 H/1845 M – 1323 H/1905 M), di Pakistan oleh Muhammad Iqbal (1878 – 1938), di india oleh sayid ahmad khan (1817 – 1989), dan di Indonesia oleh H.O.S Cokroaminoto dengan serikat islamnya, KH.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya, KH. Hasyim Asy’ari (1367 H) dengan Nahdatul Ulamanya di jawa, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan pertinya (w. 1970) di sumatera.

Kitab – kitab tafsir yang dikarang pada zaman modern ini aktif mengambil bagian mengikuti garis perjuangan dan jalan pikiran umat islam pada zaman modern ini.[20]

a.      Sumber – sumber Tafsir pada Periode Modern

Para musafir di zaman modern ini dalam menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an juga bertitik tolak dari pembaruan islam sehingga kebanyakan mereka selalu mengaitkan ayat – ayat Al-Qur’an dan ajaran – ajarannya dengan keadaan social kemasyarakatan pada zaman ini, dengan menjelaskan bahwa ajaran islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemodernan.

Islam adalah agama yang universal, yaitu sesuai dengan seluruh bangsa pada semua masa dan di setiap tempat. Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, mereka menyadarkan penafsirannya pada riwayat dan pendapat mufasir terdahulu, lalu di sesuaikan dengan tuntutan zaman.

Sayid Muhammad rasyid ridha, misalnya dalam muqaddimah tafsir al-manar mengatakan sebagai berikut.

‘… kitab ini adalah satu –satunya tafsir yang mengumpulkan antara nas yang sahih dan akal sehat yang menjelaskan hukum[21] syara’ dan ketentuan Allah pada ciptaan-Nya dan keadaan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia pada semua masa dan di seluruh tempat yang menjembatani antara petunjuknya dengan masalah yang dihadapi kaum muslimin pada masa kini.”

Jadi, sumber – sumber tafsir pada zaman ini adalah perpaduan antara riwayah dan dirayah.

b.     Bentuk, Metode, Sistematika dan Ruang lingkup Tafsir Periode Modern

Bentuk tafsir abad modern ini tidak jauh berbeda dari bentuk tafsir mutaakhirin, yaitu perpaduan antara riwayah (ma’sur) dan di rayah (ra’yu). Dari segi tafsirannya periode modern memakai metode tafsir tahlili dan komparatif (muqarin), masa dengan pola yang dianut pada periode mutaakhirin. Pada periode ini muncul pula metode baru yang disebut dengan metode maudu’I (tematik), yaitu menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an berdasarkan topic atau tema yang di pilih. Semua ayat yang berkaitan dengan topic tersebut dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya. Di antara tafsir yang masuk kategori ini, misalnya al-insan fi Qur’an dan al-Mar’ah fil Qur’an, kedua – duanya karangan syekh Abbas Mahmud al-Aqqad; dan ar-Riba fil Qur’an karangan al-Maududi.[22]

Menurut Prof. M. Quraisy Syihab modern ini di pelopori oleh seorang guru besar tafsir di universitas Al-Azhar, Mesir, al-Ustadz Prof. Dr. Ahmad al-Kummy, seorang maha guru generasi musafir (Ustadz al-Jil).[23][24]

c.      Para musafir periode modern

Syekh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1314 H/1896 M) adalah prang pertama yang menyebarkan paham modernisasi dan menyeru untuk menghidupkan kembali pemikiran keagamaan islam yang rasional dan objektif. Pemikirannya diteruskan oleh Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) yang menggerakan perbaikan pendidikan agama dan masyarakat. Beliau inilah yang menjadikan tafsir Al-Qur’an sebagai alat untuk menghidupkan kembali pemikiran pendidikan islam dan perbaikannya.

Syekh Muhammad Abduh telah memberi semangat kepada para musafir sesudahnya yang mengikuti jejak beliau untuk meneruskan gerakan perjuangan pemikiran modern itu.

Di antara tokoh tafsir pada zaman modern ini ialah sebagai berikut.

1.     Syekh Muhammad Abduh (w. 1905 M)

2.     Sayid Muhammad Rasyid Ridha

3.     Syekh Jamaluddin Al-Qasimi

4.     Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi

5.     Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat penulis simpilkan bahwa:

1.     Tafsir menurut bahasa di ambil dari kata fassara-yufassiru,yang berarti menjelaskan atau dari kata fasrun yang berarti membuka, membedah sesuatu yang rumit.

2.     Tafsir pada masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat di jadikan satu di dalam kajian ini karena pola dan metode penafsiran al-quran yang diberikan oleh sahabat tidak terdapat perbedaan yang berarti dari penafsiran yang di berikan oleh Nabi, kecuali sudut sumber. Jika tafsir Nabi berasal dari Allah langsung atau lewat Malikat Jibril atau dari pribadi beliau sendiri. Sedangkan penfsiran sahabat bersumber dari al-quran, Nabi, dan ijtihad mereka.

3.     Tafsir pada masa Tabi’in, dalam mempelajari al-Quran dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya tentang tafsirnya. Para tabi’in berlandaskan pada ayat-ayat al-quran, hadis-hadis yang diriwayatkan Rasulullah saw. dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi, serta cerita-cerita dari para Ahli Kitab. Di samping itu, mereka juga menggunakan dasar hasil ijtihad mereka sendiri, baik bersandar pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain.

4.     Perkembangan tafsir di masa sekarang aktif mengambil bagian mengikuti garis perjuangan dan jalan pikiran umat Islam pada zaman ini. Sumber-sumber pada masa ini pun dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran juga bertitik tolak dari pembaruan islam sehingga kebanyakan mereka selalu mengaitkan ayat-ayat al-quran dan ajaran-ajarannya dengan keadaan social kemasyarakatan pada zaman ini.

B.    Saran

Dalam pembuatan makalah ini memang banyak media materi yang dapat di ambil dari sumber lain. Tugas menyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritik yang bersifat membangun agar dapat menggarap tugas selanjutnya hingga selesai.



[1] Drs. H.M. Shalahuddin Hamid, MA, Study Ulumul Quran, (Jakarta, PT. Inti Media Ciptanusantara, 2002), hal.322

[2]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal. 6

[3]Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal. 7

[4] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal. 8

[5] Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsat, I, 1961, hlm. 37 – 62.

[6] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.9

[7] Shubhi al-Shalib, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut, Dar al-‘Ilm li al-Mayalin, cet. Ke-17, 1988, hlm. 354.

[8] Ibid., hlm. 357-356.

[9] Al-Dzahabi, op.cit,. hlm.99 – 100.

[10] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.10

[11] Philip K. Hitti, History of The Arabs, London, The Macmillan Press, Ltd., cet.ke-10, 1974, hlm.501.

[12] Az-Zahabi , op.cit., hlm.

[13] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.11

[14] Ibid ., hlm. 114 – 117.

[15] Ibid., hlm. 118-127

[16] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.12

[17] Ibid., hlm.135.

[18] Ibid., hlm. 141.

[19] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.13

[20] Dep.Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta, Proyek Pengandaan Kitab Suci Dep.Agama., 1984/1985, hlm.34.

[21] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.20

[22] Nashruddin Baidan, Op.cit., hlm.49.

[23] Muh.Quraisy Syihab, “Tafsir Al-Qur’an Dengan Metode Maudu’iy” di dalam Prof K.H Bustami A.Ghani (penyunting), Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Qur’an, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1980, hlm.34.

[24] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia,…hal.21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah