Makalah Pengertian Filsafat

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Dalam perspektif pendidikan Islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakikatnya adalah mengabdi kepada Allah swt. Pengabdian kepada Allah swt sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat orang yang bertakwa disisi-Nya. Beriman dan beramal shaleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan Islam sedangkan hakikat tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah, dalam istilah lain disebut “insan kamil”.

Untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggungjawab untuk menghantarkan peserta didik kea rah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat kursial. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana hakekat pendidik dalam Islam hingga bagaimana kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam.

B.    Rumusan Masalah

1.     Apa yang dimaksud dengan filsafat?

2.     Apa hubungan antara filsafat dan pendidikan?

3.     Bagaimana hakekat pendidik dalam Islam?

4.     Bagaimana kedudukan pendidik?

5.     Apa saja tugas dan tanggung jawab pendidik?

6.     Bagaimana kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam?

 

 

C.    Tujuan penulisan

Tujuan kepenulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui hakekat pendidik dalam Islam, kedudukan pendidik, tugas dan tanggung jawab pendidik, dan kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Filsafat

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Kata ini dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata shopia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. (Ali, 1986: 7).

Hasan Shadily (1984: 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta akan kebenaran.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan kebijaksanaan.[1]

Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban seperti itu juga digunakan untuk  mengatasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan.[2]

 

B.    Hubungan Filsafat dan Pendidikan

Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa, termasuk aspek pendidikan. Filasafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut suatu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang didasarkan pada prinsip-prinsip filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Untuk menjamin upaya pendidikan dan proses tersebut efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.

Filsafat dan pendidikan, keduanya merupakan usaha yang sama. Berfilsafat ialah mencari nilai-nilai ideal yang lebih baik, sedangkan pendidikan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan pribadi manusia. Pendidikan bertindak mencari arah yang terbaik, sedangkan filsafat dapat memberi latihan yang pada dasarnya diberikan kepada peserta didik. Hal ini bertujuan untuk membina manusia dalam membangun nilai-nilai kritis dalam watak mereka. Dengan demikian, filsafat pendidikan adalah mencari kesatuan pandangan untuk memecahkan berbagai macam problem dalam lapangan pendidikan.

 

Dari sini dapat diperoleh hubungan fungsional antara filsafat dan pendidikan sebagai berikut:

1.     Filsafat, dalam arti filosofis, merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan oleh para ahli.

2.     Filsafat berfungsi memberi arah bagi teori pendidikan yang telah ada menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan nyata.

3.     Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam[3] pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan.

 

Hubungan antara filsafat dan pendidikan menjadi penting sekali, sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan yang ingin dicapai. Jadi, terdapat kesatuan yang utuh antara filsafat, pendidikan, dan pengalaman manusia.[4]

 

C.    Hakekat Pendidik dalam Islam

1.     Pengertian Pendidik

Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan ( tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik.

Secara terminologi, pendidik menurut Ahmad Tafsir adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun potensi psikomatoriknya.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab I pasal 6, dibedakan antara pendidik dan tenaga kependidikan.

Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdi diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lainnya sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Secara umum istilah pendidik dikenal dengan guru. Hadani Nawawi, mengatakan bahwa guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau kelas.[5]

Dari beberapa definisi di atas mengisyaratkan, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak. Pendidik itu bisa saja orang tua si terdidik itu sendiri, atau orang lain yang telah diserahi tanggung jawab oleh orang tua.

 

2.     Pendidik dalam Perspektif Islam

a.     Murabbi

Dalam bentuk kata benda, kata rabba digunakan untuk Tuhan, hal tersebut karena Tuhan bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan bahkan menciptakan.[6]

Sebagaimana dalam QS. Al-Fatihah ayat 2, yang artinya “Segala puji bagi Allah, Tuhan (rabb) sekalian alam”.

Oleh karena itu, istilah murabbi sebagai pendidik mengandung makna yang luas, yaitu:

1.     mendidik peserta didik agar kemampuannya terus meningkat;

2.     memberikan bantuan terhadap peserta didik untuk mengembangkan potensinya;

3.     meningkatkan kemampuan peserta didik dan keadaan yang kurang dewasa menjadi dewasa dalam pola pikir, wawasan, dan sebagainnya;

4.     menghimpun semua komponen-komponen pendidikan yang dapat mensukseskan pendidikan;

5.     memobilisasi pertumbuhan dan perkembangan anak;

6.     bertanggung jawab terhadap proses pendidikan anak;

7.     memperbaiki sikap dan tingkah laku anak dari yang tidak baik menjadi lebih baik;

8.     rasa kasih sayang mengasuh peserta didik;

9.     pendidik memiliki wewenang, kehormatan, kekuasaan terhadap pengembangan kepribadian anak;

10.  pendidik merupakan orang tua kedua setelah orang tuannya dirumah yang berhak atas perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.

 

b.     Mu’allim

Mu’allim berasal dari fiil madhi allama, yu’allimu, masdharnya ta’lim. Artinya telah mengajar, sedang mengajar, dan pengajaran. Kata mu’allim memiliki arti pengajar atau orang yang mengajar. Istilah mu’allim sebagai pengajar dalam hadis Rasulullah saw, adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan. Muallim merupakan isim fail dari allama artinya orang yang mengajar.

Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang dikenal sesudah al-tarbiyyat adalah al-ta’lim. Rasyid Rida, mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu.

 

c.      Mu’addib

Mu’addib merupakan isim fail dari fiil madhi yaitu addaba. Addaba artinya mendidik, sementara mu’addib artinya orang yang mendidik atau pendidik. Dalam wazan fi’il sulatsi mujarrad, masdar adaba adalah adaban artinya sopan, berbudi baik. Al-adabu artinya kesopanan. Adapun masdar dari addaba adalah ta’dib, yang artinya pendidikan.

Secara bahasa mu’addib merupakan bentukan dari mashdar dari kata addaba yang artinya memberi adab mendidik. Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tatakrama, sopan-santun, akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya di pahami sebagai anak yang sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji.[7]

Berdasarkan tinjauan etimologi diatas, maka secara terminologi mu’addib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berprilaku atau beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.

 

d.     Muddaris   

Secara etimologi muddaris berasal dari bahasa Arab, yaitu shigat isim fail dan fiil madhi yaitu darasa. Darrasa artinya mengajar, sementara muddaris artinya guru atau pengajar. Kata yang mirip dengan muddaris adalah al-midras adalah suatu rumah untuk mempelajari al-qur’an, sama halnya dengan al-midras orang Yahudi, adalah suatu tempat untuk mempelajari kitab mereka.

Dalam bentuk fiil madhi tsulatsi mujarrad, muddaris berasal dari kata darasa, fiil mudhari yadrusu, masdharnya darsan/dirasatan, artinya telah mempelajari, sedang/akan mempelajari, dari pelajaran. Mashdar dari darasa adalah durusan, yang artinya hilang, hapus, buruk.

Secara terminologi muddaris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliaanya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dari kemampuan.

Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa muddaris adalah orang yang mengajarkan suatu ilmu kepada orang lain dengan metode-metode tertentu dalam upaya membangkitkan usaha peserta didik agar sadar dalam upaya meningkatkan potensinya.

Dalam bahasa yang lebih ringkas muddaris adalah orang yang dipercayakan sebagai guru dalam upaya membelajarkan peserta didik.

 

e.      Mursyid

Mursyid adalah istilah lain yang dipergunakan untuk panggilan pendidikk dalam pendidikan Islam. Secara etimologi istilah mursyid berasal dari bahasa Arab dalam bentuk isim fail, dan fiil madhi rassyada artinya allama; mengajar. Sementara mursyid memiliki persamaan makna dengan kata al-dalil dan muallim yang artinya penunjuk,[8] pemimpin, pengajar, dan instruktur. Dalam bentuk tsulasi mujjarrad, mashdarnya adalah rusydan atau rasyadan, artinya balagha rasyadahu (telah sampai kedewasaannya).

Berdasarkan pengertian secara etimologi di atas, maka mursyid secara etimologi adalah salah satu sebutan pendidik atau guru dalam pendidikan Islam yang bertugas untuk membimbing peserta didik agar ia mampu menggunakan akal pikirannya secara tepat, sehingga ia mencapai keinsyafan dan kesadaran tentang hakekat sesuatu atau mencapai kedewasaan berpikir. Mursyid berkedudukan sebagai pemimpin, penunjuk jalan, pengarah, bagi peserta didiknya agar ia memperoleh jalan yang lurus.

 

f.      Muzakki

Sebagaimana istilah yang dipakai untuk pendidik sebelumnya maka muzakki juga merupakan kalimat ism dalam bahasa Arab dengan shigat isim fail atau yang melakukan suatu perbuatan. Muzakki berasal dari fiil madhi empat huruf, yaitu zakka yang artinya nama, dan zakka, yakni berkembang, tumbuh, dan bertambah. Pengertian lain dari zakka adalah menyucikan, membersihkan, memperbaiki, dan memperkuat. Dalam bentuk kata lain terdapat juga tazakka artinya tashaddaqa, yakni memeberi sedekah, berzakat, menjadi baik bersih, al-zakat sama artinya dengan al-Thaharah dan al-Shadaqat, yakni kesucian, kebersihan, shadaqah, dan zakat.

Berdasarkan pembahasan secara bahasa di atas, maka secara istilah muzakki adalah orang yang membersihkan, mensucikan sesuatu agar ia menjadi bersih dan suci terhindar dari kotoran. Apabila dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka muzakki adalah pendidik yang bertanggungjawab untuk memelihara, membimbing, dan mengembangkan fitrah peserta didik, agar ia selalu berada dalam kondisi suci dalam keadaan ta’at kepada Allah swt terhindar dari perbuatan yang tercela.[9]

 

D.    Kedudukan Pendidik

     Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam amat menghargai pengetahuan. Penghargaan Islam terhadap ilmu tergambar dalam hadist-hadist yang artinya sebagai berikut:

1.     Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada;

2.     Orang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, yang berpuasa dan menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan salat, bahkan melebihi kebaikan orang yang berperang di jalan Allah swt;

3.     Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam Islam yang tidak dapat diisi kecuali oleh seseorang alim yang lain.

Kedudukan orang berpengetahuan biasanya dihubungkan pula dengan muliannya menuntut ilmu. Al-Ghazali menjelaskan kedudukan yang tinggi yang diduduki oleh orang berpengetahuan dengan ucapannya bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan langit; dia seperti matahari yang menerangi alam, ia mempunyai cahaya dalam dirinya; seperti minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi.

Kedudukan orang alim dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu itu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai dalam Islam.[10]

E.    Tugas dan tanggungjawab Pendidik

Keutamaan seorang pendidik terletak pada tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas seorang Rasul. Artinya, tugas pendidik sebagai warasat anbiya pada hakekatnya mengemban misi rahmat lil alamin. Yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk pada hukum-hukum Allah swt guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Misi ini kemudian dikembangkan pada proses pembentukkan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai warasat anbiya , seorang pendidik hendaknya pendidik bertokal pada prinsip amar ma’ruf nahyu munkar dan menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi iman, Islam dan ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah kekuatan individualitas, sosial dan moral (nilai-nilai agama dan moral).

Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk ber-taqarrub kepada Allah. Sejalan dengan ini Abd. Rahman al-Nahlawi berpendapat bahwa mendidik individu supaya beriman kepada Allah swt dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik diri supaya beramal saleh dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah swt serta menegakkan kebenaran.

Tanggung jawab tersebut bukan hanya sebatas tanggungjawab moral seorang pendidik terhadap pesert didik, akan tetapi lebih luas dari itu. Pendidik akan mempertanggung jawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah swt, sebagaimana hadis Rasulullah saw yang artinya:

Dari Ibn Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda: masing-masing dari kamu adalah pengembala dan masing-masing bertanggung jawab atas gembalanya, pemimpin adalah pengembala, suami adalah pengembala terhadap keluarganya, dan istri adalah pengembala ditengah-tengah rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya. Setiap diantara kalian adalah pengembala, dan masing-masing betanggungjawab atas apa yang digembalakan.” (HR. Bukhari dan Muslim).[11]

 

 

F.     Kompetensi Pendidik dalam Islam

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1 bahwa, “ Standar nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.[12]

 

Secara konseptual, standar juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menjamin bahwa program-program pendidikan suatu profesi dapat memberikan kualifikasi kemampuan yang harus dipenuhi oleh calon sebelum masuk ke dalam profesi yang bersangkutan.

Kompetensi dapat didefinisikan sebagai seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggungjawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etik. Dalam arti tindakan itu benar ditinjau dari sudut ilmu penegtahuan, efisien, efektif, dan memiliki daya Tarik dilihat dari sudut teknologi; serta baik ditinjau dari sudut etika. Sedangkan menurut Depdiknas, mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.

Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam menjalankan fungsinya sebagai fungsinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.[13]


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulak bahwa, pendidik memiliki beberapa pengertian yaitu: murrabi, mu’allim, mu’addib, muddaris, musyid, dan muzakki.

Lalu kedudukan pendidik dalam Islam memiliki kedudukan yang tinggi, sedangkan Al-Ghazali menjelaskan kedudukan yang tinggi yang diduduki oleh orang berpengetahuan dengan ucapannya bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah orang besar di semua kerajaan langit; dia seperti matahari yang menerangi alam, ia mempunyai cahaya dalam dirinya; seperti minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi.

Tanggungjawab pendidik menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk ber-taqarrub kepada Allah. Sejalan dengan ini Abd. Rahman al-Nahlawi berpendapat bahwa mendidik individu supaya beriman kepada Allah swt dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik diri supaya beramal saleh dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah swt serta menegakkan kebenaran.

Standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.

 

 

 

B.    Saran

Dalam hal ini pendidik harus menjadi seorang yang memiliki potensi dalam mengajar dan memiliki kompetensi professional guru yang memadai agar terwujudnya peserta didik yang di harapkan sesuai dengan tujuan tertentu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.     Majid, Abdul. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2.     Tafsir, Ahmad. 2016. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung. Remaja Rosdakarya.

3.     Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta. Kalam Mulia.

4.     Harisan Afifuddin. 2018. Filsafat Pendidikan Islam Prinsip Dasar Pengembangan. Yogyakarta. Deepublish.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Afifuddin Harisan, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip Dasar Pengembangan,(Deepublish, Yogyakarta, 2018) hal. 1

[2] Afifuddin Harisan, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip Dasar Pengembangan………..hal. 3

[3] Afifuddin Harisan, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip Dasar Pengembangan…………hal. 9

[4] Afifuddin Harisan, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip Dasar Pengembangan,………..hal. 10

[5] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, (Kalam Mulia, Jakarta, 2015 cet. IV) hal. 208

[6] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,……hal. 209

[7] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam.... hal. 211

[8] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,…….hal. 213

[9] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,……hal. 214

[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami,(PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,2016 cet. IV) hal. 122

[11] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,……hal. 227

[12] Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran; Pendidikan Agama Islam,(PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012 cet. I) hal. 82

[13] Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran; Pendidikan Agama Islam,……….hal. 83

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )