Munculnya Gerakan Radikalisme di Kampus
Proses radikalisasi ternyata juga menjangkau kampus khususnya
kalangan mahasiswa. Salah satu buktinya adalah tertangkapnya anggota jaringan
Pepi Fernando berpendidikan sarjana, dan merupakan lulusan PTKIN. Persentuhan
kalangan mahasiswa dengan radikalisme Islam tentu bukan sesuatu yang muncul
sendiri di tengah-tengah kampus. Radikalisme itu muncul karena adanya proses
komunikasi dengan jaringan- jaringan radikal di luar kampus. Dengan demikian,
gerakan-gerakan radikal yang selama ini telah ada mencoba membuat metamorfosa dengan merekrut
mahasiswa, sebagai kalangan terdidik.
Sesungguhnya,
kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme dalam
Islam terdapat dua faktor, yaitu:
1.
Faktor Internal
a.
Dalam
tataran internal gerakan fundamentalisme muncul karena adanya legitimasi teks
keagamaan. Kelempok tertentu dalam melakukan tindakan “perlawanan” itu sering
kali menggunakan legitimasi teks secara formalitas (baik teks keagamaan maupun
teks “cultural”) sebagai penopangnya. Kasus gerakan “ekstrimisme Islam” yang merebak hampir di penjuru
kawasan negara- negara mayoritas Islam (termasuk Indonesia) juga menggunakan
teks- teks keIslaman (Al-Quran, hadits dan classical sources “kitab kuning”)
sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual
ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini
(Al-Qurtuby, 2009: 49), seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk
berperang seperti;
قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا
بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ
وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ
يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
“Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk (Q.S.
Attaubah: 29).
Menurut gerakan
kaum radikal, hal ini sebagai pelopor bentuk upaya tindak kekerasan dengan
dalih menjalankan syari’at, bentuk memerangi kepada setiap orang yang tidak beriman kepada Allah dan
lainnya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis
dengan bentuk radikal juga acap kali menafsirkan teks-teks keIslaman menurut
“cita rasa” mereka sendiri tanpa mempertimbangkan kontekstualisasi dan aspek
historisitas dari teks tersebut, dampaknya banyak fatwa yang berlawanan dengan
hak- hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris Islam
sebagai agama pembebas manusia dari sebuah belenggu hegemoni. Teks-teks
keIslaman yang sering kali di tafsirkan secara bias itu adalah tentang
perbudakan, status non-muslim dan bagaimana eksistensi perempuan.
b. Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal terdiri dari beberapa sebab
diantaranya: pertama, dari aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah
yang cenderung menyeleweng dari
nilai-nilai luhur fundamental Islam. serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide
kapitalisme global dan neokapitalisme muncul dan menjadi pemenang. Satu
ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”.
Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang
inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme Islam. Karena itu, fundamentalisme dalam Islam bukan lahir
karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan industrialisasi
(seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan
idealistik Islam yang tak dijalankan oleh para rejim-rejim penguasa dan baru
berkelindan dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global.
Kedua, faktor
budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat
ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus
dihilangkan dari bumi. Ketiga, faktor sosial politik,
pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga dapat
dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat
Islam.
Hal ini tidak berarti setiap agama
mengajarkan kekerasan. Justru sebaliknya, setiap agama diyakini oleh pemeluknya
mengajarkan sebuah kedamaian, toleransi, dan kasih sayang. Dalam Islam
misalnya, dilarang keras untuk bersikap ekstrim (ghuluuw), menindas (djalim),
sewenang-wenang dan melampaui batas. Sebaliknya Islam mengajak kepada umatnya
untuk berlaku santun, toleransi, saling memaafkan, dan kasih sayang. Bahkan di
antara agama-agama samawi yang ada, ajaran Islam merupakan jalan tengah.
Relasi Organisasi Ekstra Kampus dan Strategi menangkal radikalisasi
Dalam perjalanan sejarah, banyak
gerakan mahasiswa tumbuh di negeri ini termasuk diantaranya gerakan mahasiswa Islam. Hal ini menjadi
bukti sejarah bahwasanya pergerakan mahasiswa Islam
tidak dapat dipandang sebelah mata dalam mengawal perjalanan bangsa kita.
Dan juga, dapat
dikatakan gerakan
mahasiswa islam menjadi energi yang konsisten dalam pergerakan mahasiswa di
Indonesia. Terdapat beberapa organisasi mahasiswa Islam yang menonjol di
kalangan akademisi kampus diantaranya HMI, PMII, KAMMI, dan IMM.
Organisasi-organisasi mahasiswa tersebut diatas merupakan suatu
organisasi yang berlatar belakang kemahasiswaan yang berdiri diluar kampus,
yang kemudian sering diidentikkan dengan organisasi ekstra kampus. Walaupun
kedudukannya di luar lembaga kemahasiswaan kampus, organisasi ekstra turut
berperan dalam pendampingan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus
dan tidak boleh keluar dari rambu-rambu utama tugas dan fungsi perguruan tinggi
yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tuntutan pengembangan kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini mahasiswa
menjadi salah satu prioritas dalam penyelenggraan pendidikan dewasa ini.
Pengembangan pendidikan pergururan tinggi tidak bisa dilepaskan dengan prediksi
perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial humaniora, teknologi, seni
budaya dan ekonomi budaya. Mahasiswa sangat dituntut berperan dalam membawa
perubahan bangsa ke arah yang lebih baik serta dituntut untuk siap
berkontribusi bagi masyarakat.
Organisasi mahasiswa ekstra kampus menjadi lahan produktif dalam mencetak
kader yang mampu menyokong visi gerakan mahasiswa. Lebih dari itu, Organisasi
mahasiswa ekstra kampus secara strategis juga mengendalikan arah gerakan
mahasiswa dalam proses-proses demokrasi di kampus. Organisasi mahasiswa ekstra
kampus tidak hanya mencetak intelektual, tetapi juga politisi handal. Bisa
dikatakan, karir politik seorang mahasiswa dimulai dari organisasi mahasiswa
ekstra kampus. Banyak kalangan berpandangan bahwa kehidupan kampus dan peran politik organisasi mahasiswa ekstra
kampus merupakan miniatur dari konstelasi politik di Indonesia.
Hal inilah yang kemudian
dianggap sebagian orang, mahasiswa yang aktif di luar kampus ada kecenderungan
selain memiliki kemampuan dalam hal kebangsaan juga mendapatkan ideologi yang
tidak menutup kemungkinan mengarah pada tindakan radikal.
Memperhatikan
peran dan posisi organisasi mahasiswa ekstra kampus yang sangat dominan dalam
kampus. Organisasi mahasiswa ekstra kampus juga dapat dianggap lahan yang
sangat produktif tidak hanya dalam mencetak kader organisasi yang militan dan
mampu menyokong ideologi organisasi. Lebih dari itu, organisasi mahasiswa
ekstra kampus merupakan sirkuit Isu, pemikiran, dan kepentingan dari berbagai
kekuatan di luar kampus. Sirkulasi Isu, pemikiran, dan kepentingan tersebut
diduga memiliki kontribusi yang sangat besar (Bisma, 2017: 94-100).
Dalam
perkembangannaya ada beberapa strategi yang dilakukan organisasi mahasiswa
Muslim kampus dalam kaitannya menangkal radikalisme di kalngan mahasiswa,
diantaranya :
a. Kurikulum Kaderisasi Responsif Radikalisme
Pada
konsep ini dapat ditempuh melalui beberapa hal; pertama, Materi pendidikan deradikalisasi. Materi- materi yang
dimaksud dapat diterapkan pada seluruh kegiatan- kegiatan kaderisasi baik
formal maupun informal. Seperti pada pelaksanaan MAPABA, PKD, LK dlsb. Tindakan
paling solutif sesungguhnya adalah mengadakan materi pendidikan deradikalisasi
secara mandiri. Tidak hanya diselipkan pada materi-materi kaderisasi yang lain.
Sehingga secara epistimologis, konsep pemikiran dan aplikasi wawasan tangkal
radikalisme dapat tertanam secara komprehensif;
Kedua, Pendidikan pancasila dan Pendidikan Agama. Bahwa yang
telah berjalan selama ini juga tetap penting untuk dipertahankan yakni materi
pendidikan pancasila dan pendidikan agama yang santun.
Ketiga, Mengembangkan materi
diskusi kader yang berkaitan dengan cross-cultural
undestanding (ccu). Menyusun kurikulum kaderisasi yang berpendakatan lintas
budaya juga perlu dipertimbangkan. Sehingga pemahaman mahasiswa tidak cenderung
primordial dan sektoral. Dengan pembelajaran yang mengarah pada tujuan untuk
menghasilkan warga negara yang mempunyai sikap inklusif dan toleran terhadap
kemajemukan masyarakat. Dalam praktiknya, pembelajaran dapat melibatkan non-
Muslim supaya terjadi proses penanaman nilai-nilai pluralisme dan anti radikal
di kalangan mahasiswa.
Keempat, Mentradisikan dialog.
Konsep ini yang juga perlu terintegrasi dalam upaya menangkal radikalisme.
Dialog atau sharing pemahaman dan
pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang lain untuk bersama
mengembangkan misi menciptakan perdamaian dan persaudaraan terutama di kalangan
para pemeluk agama. Pendidikan ini tentunya sesuai dengan misi agama Islam
yaitu rahmatan li al-‘alamin,
menebarkan berkah bagi seluruh masyarakat. Hasilnya tentu dapat meredam
ketegangan-ketegangan yang seringkali muncul karena kesalah paham.
b. Internalisasi Nilai-nilai Islam Ramah
Internalisasi nilai-nilai Islam ramah
dan santun juga harus menjadi kampanye yang penting untuk dilakukan. Selain dengan konsep
kurikulum kaderisasi seperti diatas, juga perlu dibangun kesadaran bersama dari seluruh anggota
organisasi. Membangun kesadaran perlu berangkat dari
pemahaman keagamaan yang moderat dan kokoh. Hal inilah yang menjadi tugas
kolektif institusional dan personal dalam membangun self awareness menuju collective
awareness. Sehingga upaya penyadaran justru dapat dimulai dari gress root.
Media-media yang dapat digunakan untuk mengkampanyekan Islam ramah begitu
melimpah. Selain melalui agenda diskusi-diskusi mingguan hingga bulanan,
seminar- seminar dan dialog, juga dapat dilakukan melalui khotbah atau
ceramah-ceramah seminar ilmiah. Maksimalisasi peran senior sebagai model juga
penting untuk diperhatikan. Senior tidak hanya bertindak memberi mauidhoh
hasanah, melainkan uswatun hasanah.
c. Budaya Literasi Islam Santun
Zaman milenial saat ini adalah era pertarungan gagasan dan pemikiran.
Mahasiswa dan dosen wajib untuk produktif dalam menghasilkan narasi-narasi
Islam yang santun dan toleran. Bukan saatnya lagi civitas akademika mengambil
peran sebagai passanger, namun harus
dirubah menjadi driver.
Aktor literasi dan gagasan adalah visi yang juga mesti dibangun untuk
melakukan counter discourse terhadap
narasi-narasi kebencian dan hoax. Dengan
mentradisikan budaya diskusi, membaca, dan menulis akan menjadi senjata paling
ampuh untuk menangkal radikalisme. Perguruan Tinggi harus memfasilitasi
agenda-agenda kajian keilmuan, penulisan-penulisan dan penelitian yang
responsif terhadap gerakan radikalisme dan terorisme.
Komentar
Posting Komentar