Transmisi Keilmuan dalam Islam Nusantara

Sumber utama ilmu, etika, dan hukum dalam islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Maka barang siapa yang berprgang teguh pada keduannya, ia akan berjalan diatas jalan yang lurus.[1] Hal ini disepakati oleh kaum muslimin, namun kebanyakan orang terutama kaum yang mengaku sebagai modernis .
Otentisitas al-Qur’an dijamin oleh Allah sendiri, sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Hijr, ayat 9. Validitas hadis-hadis nabawi juga diteliti oleh para ulama hadis, dan hanya terdapat sedikit saja perbedaan pendapat didalamnya. Artinya, sumber normatif ajaran islam selalu ada dan dapat diakses oleh kaum muslimin. Masalahnya, apakah setiap individu muslim mampu melakukan istinbath hukum dan pemahaman dari kedua sumber tersebut?
Disinilah perlunya sanad atau genealogy dalam transmisi keilmuan islam. Ibnu al-Mubarok, sebagaimana dikutip oleh imam muslim mengatakan bahwa isnad adalah urusan agama. Kalau urusan isnad tidak diperhatikan, maka setiap orang bisa bicara apa saja sekehendak hatinya.[2] Dalam islam, orang tidak hanya disuruh memperhatikan sanad dalam urusan validitasi riwayat teks atau matan hadis.
Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Qoyyim, pernah mengetakan: “jika ada orang memiliki kitab-kitab hadis, buku-buku yang memuat ikhtilaf para sahabat dan tabi’in, ia tidak boleh beramal dengan pilihan semaunya sebelum dia bertanya kepada hali ilmu tentang apa yang harus dilakukannya dengan hal tersebut supaya dia bisa beramal diatas perkara yang benar. [3]


Ini artinya, tidak semua orang yang bisa membaca hadis-hadis nabi maupun dari pada sahabat dan tabi’in , mempunyai otritas untuk menyimpulkan hukum. Ia tetap harus belajar dari para ulama yang mumpuni, dan juga mengambil ilmunya dengan cara yang sama, yakni melalui para ulama dan tidak sekedar membaca kitab dan buku.
Gregor Schoeler, dalam the genesis of literature in islam, mengutip dari perkataan dari Abu Hatim al-Sijistani yang memperingatkan murid-muridnya agar tidak sekedar mengambil ilmu bedasarkan apa yang tertulis didalam mushaf. Jika ada orang yang hanya menyalin lembaran-lembaran catatan hadis, orang itu disebut shahafiy , dan ilmu yang disampaikannya dianggap dhaif. Sistem pengajaran dalam islam, sebagaiamana didapati oleh Schoeler, mengharuskan setiap teks didengar atau dibaca oleh seorang murid dihadapan ulama yang memiliki otoritas. Baik dalam urusan hadis ataupun ilmu-ilmu lainnya, interaksi langsung seorang guru sehingga terjadi transmisi teks dan ilmu dengan cara audition (al-riwayah al-masmu’ah), dianggap absolutely essential dan sangat penting.[4]
Azra dan Fathurrahman, dalam jaringan Ulama, menyatakan bahwa silsilah yang bersambung menjadi salah satu syarat terpenting keshahihan otoritas dalam keilmuan islam, bahkan juga dalam dunia tasawuf. Predikat mu’tabarah atau ghairu mu’tabarah ditentukan oleh kebenaran silsilah sanad yang muttasil tersebut. 
Tradisi para ulama sejak generasi al-salafu al-salih itu perlu diperhatikan dan dijadikan landasan etika berislam , agar kaum muslimin tidak keluar dari jalur manhaj yang benar dalam mengambil ilmu agaa dan beramal. Tak bisa dipungkiri, sejarah islam menyaksikan munculnya firqoh-firqoh menyimpang seperti rafidhoh, khawarij, dan lainnya transmisi keilmuan melalui tradisi sanad sangat diperlukan untuk menjaga umat islam terhindar dari sikap tasyadud seperti kaum khawarij, dan melenceng seperti kaum liberal.


B.      Genealogi Islam Nusantara
Setidaknya terdapat empat pendapat kuat mengenai dari manakah Islam Nusantara banyak terpengaruh. Pendapat pertama menyebutkan bahwa Islam Nusantara disyi’arkan dari Gujarat, India. Teori ini didukung oleh C. Snouck Hurgronje, Prof. Pijnappel dan juga S.Q. Fatimy, pendapat mereka didasarkan pada asumsi atas adanya kesamaan madzhab yang sama-sama Syafi’iy, juga kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara diantaranya adalah bentuk nisan di Nusantara yang mirip dengan nisan yang ada di Gujata India.
 Pendapat kedua mengatakan bahwa, Islam Nusantara banyak di pengaruhi oleh Islam Arab, terutama dari Mesir dan juga Hadramaut Yaman. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah satu tokoh terdepan dengan pendapat ini, Cendekiawan Muslim kelahiran Bogor yang kemudian menetap di Malaysia ini berpendapat bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia.[5] Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa Islam di Nusantara banyak di pengaruhi oleh Islam di Arab Saudi atau Mesir.
Teori Persia atau pendapat yang mengatakan bahwa Islam Nusantara pada awalnya datang dari Persia, yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan Indonesia di antaranya P.A Hoesein Djajadiningrat, Prof. A. Hasjmi dan juga Prof. Aboe Bakar Atjeh tampaknya kurang populer dibanding dua teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan itu antara lain.
Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain. Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran AlHallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya, dan juga penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem pengejaan huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Cina. Teori ini mungkin sangat lemah, namun kemungkinan para saudagar Cina ikut juga membawa Islam ke Indonesia memang sangat besar. Diketahui bahwa para penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, yang banyak melakukan hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.Bukti lain yang dijadikan dasar bahwa Islam Nusantara berasal dari Cina antara lain, adanya sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang. Teori ini didukung oleh Prof. Slamet Muljana. Kemudian sejarawan H.J. De Graaf telah menyunting kronik Cina yang diklaim dari hasil rampasan Residen Poortman di Semarang yang memperlihatkan pengaruh orang-orang Cina dalam pengembangan Islam di Indonesia.[6] Dapat dilihat bahwa dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural sebagai media, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi.
Dari empat pendapat diatas, yang memaparkan dari manakah Islam di Nusantara ini bermuara, tentu hal tersebut tidak dapat disebutkan atas dasar satu pengaruh. Kebudayaan Islam di Nusantara memang dipengaruhi dan dibentuk oleh keempat budaya tersebut. Kebudayaan-kebudayaan tersebut saling melengkapi, karena memang tidak bisa dikatakan bahwa Islam di Nusantara di pengaruhi oleh satu kebudayaan yang homogen akan tetapidari keempat kebudayaan itulah Islam di Nusantara menjelma menjadi kaya akan kebudayaan. Jadi perbedaan pendapat yang disebutkan adalah perbedaan pendapat yang saling melengkapi, bukan perbedaan pendapat yang saling bertentangan.
Memang menurut kajian sejarah bahwa Islam masuk ke Nusantara pertama kali tercatat sudah sejak abad ketujuh, pendapat ini banyak didukung oleh diantaranya Harry W. Hazard, Naquib al-Attas, S.Q. Fatimy, W.P. Groeneveld dan yang lainnya, akan tetapi Islam di Nusantara perkembangannya menjadi massif adalah ketika sebagian besar penduduk Champa yang beragama Islam berbondong-bondong menuju ke wilayah Nusantara berbarengan dengan momentum Wali Songo yang mensyi’arkan Islam secara serentak dan terang-terangan yaitu sekitar abad 15 Masehi.[7]
Metodologi dakwah yang diterapkan Wali songo dalam menyebarkan Islam di Nusantara adalah dengan memegang teguh prinsip wasathiyyah atau sering diterjemahkan dengan kata moderat. Metode dakwah yang moderat ini sesuai dengan firman

Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 143;
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (tengah-tengah) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..” (QS al-Baqarah: 143).

Konsep moderat dalam hal ini mempunyai beberapa makna dan diantaranya adalah realistis. Realistis disini bukan berarti oportunis atau bukan juga bermakna pasrah menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi dimaknai dengan tidak menutup mata dengan realitas yang ada dengan tetap berusaha mencapai keadaan yang ideal.
Prinsip dakwah Wali Songo yang realistis dan moderat tersebut seperti apa yang dilakukan terutama oleh Sunan Kalijaga serta Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran terhadap budaya lokal. Beliau berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka, butuhpendekatan secara bertahap.
Sunan Kalijaga yakin jika Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya kebiasaan yang lama akan hilang. Mulailah Sunan Kalijaga masuk dalam budaya mereka dan memahaminya, kemudian secara bertahap memasukkan nilai-nilai Islam kedalamnya. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beliaulah perancang baju takwa pertama kali, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada dan masih banyak lagi. Juga arsitektur pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid yang diyakini juga sebagai karya dari Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif sehingga banyak sekali masyarakat setempat yang memeluk Islam. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Demikian juga dengan metode dakwah yang digunakan oleh Sunan Kudus, yang mendekati masyarakat melalui simbol-simbol Hindu – Buddha. Hal tersebut terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang, serta pancuran wudhu yang berjumlah delapan, yang di adaptasi dari delapan jalan Buddha, hal tersebut merupakan wujud kompromi yang dipraktekkan oleh Sunan Kudus.12 Namun perlu dicatat bahwa tidak semua ajaran syari’at dapat diadaptasikan dengan budaya serta realitas lokal, sehingga perlu ditegaskan perbedaan prinsip antara fikih ibadah (ritual) dengan fiqh muamalah (sosial).


[1] Malik Ibn Anas Ibn Malik; Al-Muwatta’, kitabu al-jami’, babu al-QODAR, Daru Ihya’i al’Ulumi al’Arabiyah, tahun 1994, Hadis ke1662, hlm. 690.
[2] Lihat; Mukadimmah Sahih Muslim, Daru Ihya’i al-Turotsi al-‘Araby, Beirut, Juz 1, Hlm.,16.
[3] Lihat: Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Qoyim Al-Jauziyah, A’lamu al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al=Alamin, Daru al-Kutubi al-‘Ilmiah, Beirut, 1991, juz 1, hlm. 35.
[4] Lihat: Gregor Schoeler, The Genesis Of Literature in Islam; from the Aural to the Read, Series edited by Carole Hillenbrand, English translation by Shawkat M. Toorawa, Edinburgh University Press, 2009, hlm. 36.
[5] Syed Muhammad Naquib al-attas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, h. 25.
[6] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, 2014, Pustaka I IMAN, h. 339.
[7] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, h. 122.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )