PENGKOLABORASIAN ISLAM PRIBUMI YANG MENGHASILKAN ISLAM NUSANTARA


Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyerdehanaan dari tipologi Islam Indonesia hasil perpaduan anatara Islam dengan kebudayaan Nusantara. Nusantara dalam prespektif ini bukanlah hanya pada konsep geografis, lebih jauh dari itu Nusantara merupakan encounter culture (pusat pertemuan budaya) dari seluruh dunia. Mulai dari budaya Arab, India, Turki, Persia termasuk adri budaya Barat yang melahirkan budaya dan tata nilai yang sangat khas. Oleh karena itu, Nusantara bukan sebuah konsep geografis melainkan sebuah konsep filosofis dan menjadi prespektif atau wawasan sebuah pola pikir, tata nilai dan cara pandang dalam melihat dan menghadapi budaya yang datang. Kajian Islam Nusantara bukan sekedar kajian terhadap kawasan Islam, tetapi lebih penting lagi merupakan kajian terhadap tata nilai Islam yang ada di kawasan Nusantara yang telah tumbuh dan berkembangkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarahnya, mulai dari Samudera Pasai, Malaka, Palembang, Banten, Jawa. Islam yang datang ke Nusantara merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagaii peradaban besar dunia seperti Persia, Turki, India sehingga ketika samapai ke Nusantara telah tampil dalam kondisi yang paling paripurna. Islam model seperti itulah yang kemudian diajarkan di berbagai pesantren.[1]
Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Islam di Nusantara di dakwahkan dengan cara merangkul budaya, meyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Dari pijakan itulah NU akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka dan toleran. Memaknai Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat istiadat di Nusantara.3 Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Nusantara. Pertemuan Islam dengan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem
sosial, lembaga pendidikan (seperi pesantren). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi budaya Nusantara.
B.     UPAYA PRIBUMISASI ISLAM
Syaiful arif , seorang “mutarjim” pemikiran Gus Dur mengatakan bahwa gagasan Gus Dur yang paling populer lahir dari keprihatinannya atas kebudayaan islam di indonesia ditengah ancaman arabisasi tapi, Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah dan tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. [2]
Dengan demikian pribumisasi islam boleh dikatakan sebagai cita-cita untuk melanjutkan kebijakan penyebar agama islam di masa lalu yang bijaksana dalam berdakwah dan ber-islam. Keberadaan islam nusantara, atau yang dikenal islam ala Nu yang merupakan cita-cita pribumisasi islam diakui sebagai islam yang dibutuhkan oleh masyarakat indonesia timur dan kawasan yang jauh dari daerah jawa. Untuk memperkuat nasionalisme dan merekatkan keutuhan NKRI. Mengenai apa yang disebut tentang Islam Nusantara, pandangan Islam Nusantra ini perlu dijelaskan. Pertama ingin penulis sampaikan bahwa jauh sebelum mencuatnya ide Islam Nusantara, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah lebih dahulu muncul dengan konsep keislaman yang “membudaya” atau kita kenal dengan konsep Pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya adalah “relevan untuk segala zaman dan tempat”. Keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap oleh budaya lokal, tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman itu sendiri. [3]
Kedua, bahwa Islam memang secara de facto turun di tanah Arab, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bukan “Arabnya” yang terpenting melainkan nilai keislamannya yang perlu dikaji lebih mendalam seperti apa yang tertulis pada ungkapan di atas. Ketiga, munculnya ide Islam Nusantara sendiri bertitik tolak dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman sejarah berkembangnya Islam di Nusantara sebagian masyarakat. Hingga mengakibatkan munculnya gerakan Islam radikal di Nusantara ini. Islam mampu berkembang dan tersebar luas di tanah Nusantara tentu tidak dengan pedang, parang, amarah dan marah-marah. Islam mampu bertahan sampai detik ini di Nusantara justru karena adanya sinergi positif antara budaya dan agama, bukan malah menyalahkan dan mendustakan budaya sebagai biang keladi kekufuran dan kekafiran. Interaksi antara agama dan kebudayaan, masih menurut Kuntowijoyo dapat terjadi dengan, pertama agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan. Baik agama dan budaya, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol yang saling keterkaitan. Di Indonesia agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. [4]
Konsepsi Islam Nusantara dikatakan sebagai sebuah model penyebaran Islam yang telah dilakukan oleh Walisongo, para kiai/ulama terdahulu tidak dengan jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Islam Nusantara merupakan proses islamisasi di Indonesia dengan jalan merangkul, melestarikan dan menghormati serta tidak memberangus budaya dan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Proses Islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana penduduk Indonesia yang paling besar adalah beragama Islam.
C.     RESPONS TERHADAP ISLAM NUSANTARA
Istilah Islam Nusantara yang menjadi tema besar muktamar NU ke-33 sontak memberikan banyak respon dari kalangan muslim sendiri. Ada dua respons dalam garis besar ini yaitu respons secara konseptual Menariknya, walaupun gagasan Islam Nusantara ini dikumandangkan oleh Nahdlatul Ulama’ (selanjutnya disebut NU) namun di sebagian internal komunitas Nahdliyin masih menuai kritikan dan penolakan. Sejumlah kiai/ulama NU, pesantren NU serta warga NU lainnya terkesan masih kurang menerima dengan pengistilahan Islam Nusantara tersebut. Akibatnya, sikap pro kontra tidak hanya terjadi di komunitas di luar NU namun juga terjadi di internal NU sendiri. Di tengah hingar bingar sikap pro kontra di internal NU terkait gagasan Islam Nusantara tersebut, tak ada salahnya untuk sejenak menengok respon dan sikap warga Nahdliyin.
Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah karena bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri mana pun, namun tidak harus bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan Islam atau nusantarasasi budaya lain. Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. Dengan demikian, corak Islam Nusantara tidaklah homogen karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki ciri khasnya masing-masing tetapi memiliki nafas yang sama. Selain mendapatkan respons secara konseptual, Islam Nusantara juga mendapat respons secara aplikasinya. Penerapan Islam Nusanatara mendapat respons tersendiri oleh para Intelektual Muslim di Indonesia sejak saat perbincangan Islam Nusantara menghangat. Pertama, para pengusung dan pendukung ide Islam Nusantara ini menggunakan berbagai argumentasi untuk meyakinkan masyarakat. Banyak media massa memberikan ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan idenya tersebut. Karena itu perlu ada sikap kritis terhadap argumentasi yang mereka kemukakan. Konsep Islam Nusantara dianggap sebagai wujud kearifan lokal Indonesia.
Terkait hal ini, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperkenalkan pada kita tentang pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam merupakan proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui bentuk budaya lokal. Ini dilakukan baik melalui kaidah fikih (al-adah al-muhakkamah: adat bisa menjadi hukum) maupun pengembangan aplikasi nas (teks suci). Karenanya, penting sekali melanjutkan digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id rintisan Gus Dur terkait pribumisasi Islam menjadi suatu kerangka manhaj atau metodologi dalam perumusan Islam Nusantara.



[1] http://digilib.uinsby.ac.id

[2] Yusqi, M. Isom, Dkk. Mengenal Konsep Nusantara, Jakarta,Pustaka Stainu Jakarta. 2005

[3] Ibid.,
[4] Ibid,.hal 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )