PENGERTIAN BUNGA BANK

Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar berapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank bank konvensional (non muslim) sebagai suatu lembaga keuangan yang mana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan ataupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran islam. Bedanya riba dengan bunga (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga bank adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif. Namun demikian pada hakikatnya baik riba, atau bunga bank atau sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan oprasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum islam. Sudah barang tentu bank islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional. Sebab cara dan system seperti itu dilarang oleh islam.
Sebagai pengganti system bunga bank tersebut, maka bank islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah:
1. Wadiah ( titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito ).
 2. Mudharabah ( kerja sama antara pemilik dengan pelaksana atas dasar perjanjian     profit and loss sharring ).
3. Murabahah ( jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur ).[1]
B. PERBEDAAN BUNGA BANK DENGAN RIBA
1.Pendapat yang mengatakan bunga bank bukan riba.
Segelintir ulama dinegara-negara timur tengah dan beberapa orang pakar ekonomi dinegara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti mufti mesir Dr. Sayid Thantawi, yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan bank nasional mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah An-Nashir. “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan islam tanpa dipotong dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang parbankan, sedangkan tidak ada parbankan tanpa riba”.
Ia juga berkata “Sistem ekonomi parbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-qur’an yang mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengertian riba”.
Di indonesia, pendapat yang mengemukakan adalah pendapat pakar ekonomi yang juga mantan menteri keuangan dan gubernur bank Indonesia.  Syarifudin Prawiranegara. “Jika bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak dibolehkan bagi pedagang muslim, maka larangan ini akan mempertanyakan pada suatu posisi yang sangat kaku, janggal, dan tidak menguntungkan apabila dihadapkan kepada lawannya dari barat dan timur tengah. Hal ini akan memaksa dia untuk mengetahui cara-cara yang dibuat-buat dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepda bunga seperti ongkos administrasi, hanya untuk menghindari kata riba.[2]
2. Pendapat yang mengatakan bunga bank adalah riba
Umer  Chapra mengutip Ibnu manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah poko, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Untuk menjawab pertanyaan itu adalah Rasulullah SAW. Beliau melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman.
Dalam riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, “ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam

memberikan tumpangan atau makanan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.[3]
C. PENGERTIAN ASURANSI DALAM BANK
Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian, dengan cara mengalihkan/mentransfer resiko tersebut dari pihak pertama kepihak lain. Dalam hal ini adalah kepada perusahaan asuransi. Pelimpahan tersebut didasari dengan aturan-aturan hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, yang dianut oleh pihak pertama maupun pihak lain.[4]
Adapun asuransi menurut Prof. Mehr “Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exsposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung`
Dan adapun jenis-jenis asuransi
1. Dilihat dari segi fungsinya.
           Seperti yang terdapatdalam undang-undang Nomor 2 Tahun1992 tentang usaha asuransi menjelaskan bahwa asuransi kerugian menjalankan usaha memberikan jasa untuk menanggulangi suatu resiko atas kerugian.
2. Asuransi jiwa.
Asuransi jiwa merupakan perusahaan asuransi yang dikaitkan dengan penaggulangan atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Reasuransi
Merupakan perusahaan yang memberikan jasa asuransi dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian. Asuransi ini sering disebut asuransi yang digolongkan ke dalam:
-          Bentuk treaty
-          Bentuk facultive
-          Kombinasi dari keduanya[5]
D. KEUNTUNGAN ASURANSI
Pengetahuan masyarakat terhadap jasa asuransi memang belum seperti pemahamannya terhadap menabung konvensional baik di bank umum maupun di bank syariah. Padahal dari sisi mengelola keuangan, dengan berbagi bentuk jasa asuransi, sama-sama menertibkan dalam hal mengelola keuangan terutama pos-pos tertentu yang sifatnya darurat. Sekalipun menejemen asuransi dan berbagai macam asuransi terus meningkat dan berbagai macam asuransi di sediakan oleh perusahaan asuransi.
Beberapa model stigma negatif terhadap perusahaan asuransi misalnya saja menggadaikan nyawa kepada lembaga, ini untuk jenis asuransi kesehatan atau kecelakaan.
Dengan pengetahuan yang belum baik tentang asuransi, dengan demikian keuntungan asuransi bagi sebagian masyarakat indonesia belum begitu dipahami. Kalaupun telah memiliki kepahaman bahwa yang namanya kecelakaan tidak bisa diprediksi sehingga perlu mempersiapkan dana khusus sebagai persiapan menanggulangi keadaan darurat, masih banyak yang berfikir untuk mempersiapkan dana tersebuat dalam bentuk tabungan dan membeli emas bukan dalam bentuk menjadi nasabah asuransi kesehatan asuransi kesehatan atau asuransi jiwa.[6]
Secara umum yang menjadi penyebab belum tertariknya masyarakat indonesia terhadap berbagai program asuransi adalah sebagian masyarakat indonesia masih memiliki perekonomian yang kurang stabil.
Sehingga mereka lebih banyak memilih untuk membelanjakan uang mereka guna membeli kebutuhan sehari-hari dari pada untuk hal lain yang dianggap kurang penting atau untuk mempersiapkan hal-hal yang sifatnya darurat. Memang tidak bisa dipungkiri dengan masih terbatasnya penghasilan, masyarakat indonesia masih sulit untuk memenuhi pos-pos kebutuhan primer dan skunder semata. Dan pengertian arti kebutuhan primer dan skunder juga dipahami dalam arti sempit.
Salah satunya adalah asuransi. Padahal kalau dilihat dari manfaat, sebenarnya program asuransi ini termasuk kebutuhan primer. Karena itulah tidak perlu heran sekalipun mengedepankan soal keuntungan asuransi ini, namun pandangan sebagian masyarakat indonesia asuransi sama saja dengan membuang uang. Selain itu ada pandangan dari masyarakat yang menganggap asuransi adalah haram.
Sebab, dengan asuransi itu dianggap sama halnya mengandalkan keselamatan dan menggadaikan diri kepada sesama manusia. Padahal pandangan seperti itu sebenarnya keliru. Karena pada dasarnya asuransi bukan membuang uang atau mengandalkan masalah keselamatan kepada sesama manusia. [7]



[1] Sulaiman rasjid, fiqih islam (Bandung: Sinar baru algensindo, 2006) h. 290
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail fiqhiyah (Jakarta: Gunung agung, 1997), h. 103
[3]Ibid.hlm. 104
[4]  Nuni, pengetahuan tentang dasar asuransi (Depok: 2012)h. 260
[5]Ibid. hlm. 261                                                                         
[6]  Nuni, pengetahuan tentang dasar asuransi (Depok: 2012)h. 262
[7]Ibid. hlm. 263

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah