PMII dan Tantangan Kedepan


Oleh: Irgi  Nur Fadil
Tanggal 17 April 1960, para kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai daerah berkumpul di Surabaya memperbincangkan arah gerakan kader-kader NU di tingkatan mahasiswa. Pada hari itu pula didirikanlah suatu wadah gerakan kaum muda NU yang hari ini kita kenal dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Keberadaan PMII tidak bisa dilepaskan dari NU. Meskipun dalam dinamikanya, PMII pernah independen dari NU lantaran NU menjadi partai politik. Hari ini PMII dan NU kini hubungan secara interdependen yang masih terkait secara ideologis, emosional dan kultural walaupun tidak secara struktural. PMII menjadikan aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah) sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan metode pergerakannya. Ada 4 prinsip aswaja yang menjadi landasan gerak PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil).
Selama setengah abad PMII telah banyak memberi kontribusi besar terhadap bangsa, negara, dan agama. PMII sudah melahirkan banyak pemimpin, cendekiawan, akademisi, peneliti, dan sebagainya. Mereka menyebar di seantero jagad nusantara. Keberadaan PMII menjadi tonggak penting dalam menentukan sinar peradaban Islam Indonesia. Kehadiran PMII yang lahir dari rahim NU memiliki perspektif yang berbeda mengenai keislaman, kebangsaan, dan persatuan sesama umat Islam.
Sebagai organisasi yang besar PMII sudah sepatutnya menyiapkan instrumen kaderisasi yang dapat menunjang kemampuan operasional setiap kader. Bukan hanya di masa kini tapi juga di masa yang mendatang, Mau tidak mau berpikir secara futuristic melalui analisis serangkaian kemungkinan atas situasi yang akan di hadapi masa yang akan datang yang akan di hadapi di setiap kader. Kelambanan dalam melangkah sebisa mungkin untuk di minimalisir. Cara yang efektif ialah memperbaiki kinerja kaderisasi untuk menjawab tantangan bagaimana output kader yang dihasilkan dapat bertahan, compatible atau bahkan menciptakan arus perubahan.
PMII mengajarkan kepada kita tentang tiga hal, ke-islaman, ke-mahasiswaan, dan kebangsaan. Ketiga hal tersebut harus kita pahami secara detail, sistematis dan terarah. Sebab, PMII telah merumus ketiga rangkaian itu untuk mencapai mahasiswa yang benar-benar bisa berpegang teguh kepada allah swt dan senantiasa menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Dalam keislaman, PMII mengajarkan tentang dua hal, pertama bagaimana memahami islam tidak hanya transcedental melaikan harus membumi. Dengan prinsip bahwa islam itu bersifat universal dan tidak bertentangan dengan kemajuan zaman, tetapi selaras dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu islam bisa menjadi panduan dan praksis kehidupan sehari-hari. Kedua, islam menjadi landasan dan spirit dalam ber-organsasi. Organisasi kemahasiswaan PMII mempunyai ruh dan spirit keislaman yang tinggi. Itu sebabnya tidak lekang di makan waktu, karenan kaya dengan sejarah, tradisi, simbol, idiom, serta icon perjuangan.
Dalam hal kemahasiswaan, PMII mengajarkan tentang perjuangan politik kampus dan pengembangan basis profesionalitas. Menjadi anggota PMII pada akhirnya bukan suatau pilihan namun menjadi panggilan hati nurani, dimana kita semua merupakan makhluk sosial yang mempunyai tanggung jawab kolektif  mempunyai visi yang kuat.
Dalam soal kebangsaan, PMII  mengajarkan tentang arti pentingnya mencintai tanah air, rasa kebangsaan yang telah terpatri dalam diri kader PMII. Islam sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kebangsaan yang selama ini kita anut, bahkan islam memadu kita untuk menjaga, merawat, dan mempertahankan bangsa dan tanah air dari berbagai gangguan. PMII mengajarkan untuk memahami secara baik sejarah bangsa ini, sejarah islam indonesia, sejarah NKRI hingga tercipta sebuah optimisme dalam diri kita, bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang “thoiyyibatun wa robbun ghofur”
Namun yang bagaimanapun PMII harus melakukan penyempurnaan gerakan dan harus berbenah diri, jika tidak mau untuk berbenah diri dan selalu menerawang pola kehidupan yang akan datang makan bersiap-siaplah untuk digilas perkembangan zaman. Apa yang pernah di bangun oleh pendahulu PMII merupakan warisan dan pegangan yang sangat berharga dan juga menjadi panduan dalam menjalankan organisasi. Perkembangan zaman menuntut setiap organisasi termasuk PMII bukan hanya menjadi barang mati tetapi untuk selalu menjadi teks yang terus selalu hidup, dapat di pelajari oleh orang-orang dan bahkan menjadi pedoman.
Termaktub dalam Anggaran Dasar pasal 4, tujuan PMII adalah terbentuknya pribadi muslim indonesia yang bertaqwa kepada allah swt, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dari rumusan tersebut dapat di pahami bahwa oreantasi paling mendasar yang harus di pahami setiap kader PMII dan untuk membina individu, baik anggota maupun kader. Dalam kata lain, PMII adalah organisasi tempat untuk menempa potensi kader  sehingga memiliki kesiapan spiritual, pengetahuan dan teknikal untuk mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara filosofi pengkaderan dalam organisasi PMII hendak menciptakan manusia merdeka (indipenden). Yaitu manusia yang mampu berdiri diatas kapasitas indivualnya berbekal kemampuan (syakillah) dan kekuatan (wush’ah) yang telah di anugerahkan oleh allah SWT. Kemampuan dan kekuatan tersebut adalah bekal yang di berikan kepada manusia untuk mengelola dunia dalam posisi sebagai wakil tuhan di bumi (Khalifatullah fil al-ardh).
Proses pengkaderan di PMII menuju satu titik, yakni menciptakan manusia Ulul Albab. Secara umum manusia ulul albab ialah manusia yang peka terhadap kenyataan, mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, giat membaca tanda-tanda alam yang semuanya dilakukan dalam rangka berdzikir kepada allah swt. Sehingga kehidupan di dunia selalu dijalani dengan berpedoman pada peta yang telah di sajikan melalui peristiwa alam, peristiwa sejarah masyarakat, serta firman-firman tuhan yang di sarikan dalam motto PMII yaitu Dzikir, fikir, dan Amal Sholeh.
Sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa yang ber-ideologi Ahlussunnah wal jamaah Nilai yang selama ini, selalu membuat PMII bersebrangan dengan faham wahabisme yang mendukung pemerintahan khalifah, anti tahlil, anti maulid, anti ziarah kubur, dan selalu mengkafirkan orang yang tak sepemikiran.
Nilai-nilai ini juga, yang mengecam keras para organisasi yang mengatasnamakan agama Islam atau apapun yang menjadi biang keresahan sosial, dan pembuat masalah di negeri ini (Al-nafs al-lawwamah). Atas dasar itu (ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah), maka para pendiri PMII berusaha menampilkan suatu gerakan yang menjadi landasan utama dalam pergerakan. Baik gerakan vertikal, maupun horizontal.
Ada tiga aspek yang menjadi pegangan fundamental para kader PMII dalam bergerak. Pertama, aspek tauhid atau ketuhanan. Di sini PMII harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan. Hal ini dibuktikan oleh kader-kader PMII, dengan pemisahan yang tegas antara hal-hal yang profan dan yang sakral.
Kedua, hubungan manusia dengan tuhan (hablum minallah). Hubungan antara hamba dengan penciptaNya, tujuannya yaitu mengharapkan ridho Allah semata dalam setiap pergerakan. Sehingga apa yang dilakukan oleh kader-kader PMII selama ini, semua itu lilahi ta’ala (Karena Allah semata) alias tidak mengharapkan suatu apa pun kecuali ridho tuhan.
Ketiga, aspek kemanusiaan atau hubungan manusia dengan manusia (hablum mimannas). Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia yaitu lebih mengutamakan persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama umat Islam, persaudaraan sesama warga negara, dan persaudaraan sesama umat manusia.
Dan keempat, hubungan antara manusia dengan kelestarian alam semesta (hablum minal’alam). Perlakuan baik manusia terhadap alam dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia, dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan, untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh.
Melihat landasan nilai pergerakan, dan sejarah lahirnya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia diatas, maka dapat disimpulkan bahwa PMII diciptakan untuk membela bangsa, dan menegakan agama. Hal tersebut tercermin dengan sikap, dan arah perjuangan PMII saat ini.
Kini, di usia yang sudah menginjak 58 tahun ini, dengan kemampuan intelektual yang berbasis Islam keindonesiaan, PMII harus tetap mengawal dan diharapkan mampu menjawab problematika bangsa, tentu dengan menjadi pemangku pemegang kebijakan-kebijakan diberbagai lini seperti Anggota Dewan, Kepala Badan, Menteri, dan Pemimpin bangsa. Sehingga, apa yang selama ini diperjuangkan PMII dapat terwujud secara utuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )