Sikap Bijak Mu
Sedikit cerita tentang hujan sore ini, setelah percakapan yang nampaknya kau sedang merasakan entah apa yang jelas aku melihat ada wajah malas aku simpulkan begitu, apapun itu yang kau rasakan aku harus bijak menghadapinya. Sejam setelah itu nada whatsaap berbunyi. Iya, itu pesan darimu yang kutunggu dari tadi, pesan itu begini.
"Kalo kita bukan anak pesantren, kalo aku tinggal diluar tapi bukan dikostan yang disiplin, atau aku anak rumahan yang nggak diperhatiin sama orang tua, pasti aku udah ngajak kamu main hujan-hujanan sekarang"
Ku jawab "kamu lagi kenapa, Ayo aku mau kamu cerita. Ayolah". Jawabku yang tak menyadari keinginanmu.
Sembari menunggu pesanmu terdengar suarang kang Agil memanggilku, "iya kenapa" ku jawab. "Suruh nganter elis pulang". Aku diam tak ku jawab, rasanya memang benar capek badanku lagian aku menunggu pesan dari yunda yang dari tadi kulihat sedang mengetik terlalu lama. Dan Hari itu aku benar-benar rindu, inginku aku bisa berdua denganmu. Tidak lama kemudian nada whatsap itu bunyi lagi, isi pesan itu begini.
Sembari menunggu pesanmu terdengar suarang kang Agil memanggilku, "iya kenapa" ku jawab. "Suruh nganter elis pulang". Aku diam tak ku jawab, rasanya memang benar capek badanku lagian aku menunggu pesan dari yunda yang dari tadi kulihat sedang mengetik terlalu lama. Dan Hari itu aku benar-benar rindu, inginku aku bisa berdua denganmu. Tidak lama kemudian nada whatsap itu bunyi lagi, isi pesan itu begini.
"Setelah kubaca pesan darimu, aku harus cerita tentang bagaimana aku duduk secara rinci. Jadi aku ceritakan saja.
Saat ini, aku sedang duduk masih lengkap dengan alat shalatku (bahkan alqur'an masih ada dlm pangkuanku) menghadap 3 wanita. 1 sedang asik menikmati makan malamnya, 1 asik mengupas buah, 1 asik berchat ria dengan handphonenya. Tentu ada obrolan menarik diantara kami. Tiba-tiba si wanita ketiga ini bilang (elis yang dia maksut) "yess aku bisa pulang" wanita ke dua tanya "jadi sama grabnya" dia jawab "enggak, mau dianter gigi". Dheg. Seketika hatiku sakit. Seharusnya biasa saja. Akunya saja yang entah kenapa tiba-tiba bergetar mendengar nama itu. Kini ku sadar. Saat ini aku sedang benar-benar rindu akanmu. Malam ini, kau benar-benar pergi dibawah rintik hujan tapi bukan bersamaku. Kuakhiri ceritaku ini karna aku tergiur dg mangga yang sudah slesai dikupas. terakhir, hati2 sayang".
Saat ini, aku sedang duduk masih lengkap dengan alat shalatku (bahkan alqur'an masih ada dlm pangkuanku) menghadap 3 wanita. 1 sedang asik menikmati makan malamnya, 1 asik mengupas buah, 1 asik berchat ria dengan handphonenya. Tentu ada obrolan menarik diantara kami. Tiba-tiba si wanita ketiga ini bilang (elis yang dia maksut) "yess aku bisa pulang" wanita ke dua tanya "jadi sama grabnya" dia jawab "enggak, mau dianter gigi". Dheg. Seketika hatiku sakit. Seharusnya biasa saja. Akunya saja yang entah kenapa tiba-tiba bergetar mendengar nama itu. Kini ku sadar. Saat ini aku sedang benar-benar rindu akanmu. Malam ini, kau benar-benar pergi dibawah rintik hujan tapi bukan bersamaku. Kuakhiri ceritaku ini karna aku tergiur dg mangga yang sudah slesai dikupas. terakhir, hati2 sayang".
Dalam setiap langkah hidupku pasti hal yang harus memaksaku untuk bisa mengambil keputusan, dan aku di posisi yang terdesak, mau tidak mau, harus mau. Iya, benar aku mengantarnya (elis yang ku maksud). Seharusnya aku menikmati momen itu bisa berdua dengan elis yang mungkin orang lain sangat menginginkannya dan aku yang sama sekali tidak ingin berdua dengannya malah bisa bareng. Sepanjang perjalanan itu pikiranku tertuju padamu, aku benar-benar khawatir keputusanku ini akan mengusik cara berpikirmu bahkan aku sangat khawatir bila kau marah.
Sepulang mengantar elis, aku menghubungimu lewat whatsapp dan aku benar-benar mengira kau akan marah. Seharusnya malam itu kamu yang ku boceng bukan elis, tapi aku benar-benar senang kau bisa menyikapinya dengan bijak dan sederhana salah.
"Kalo kamu nggak nganter dia, kamu nggak bisa mnikmati grimis, padahal pengen banget hujan-hujanan bareng kamu, stidaknya cewek tadi anggep aja aku"
Setelah aku baca pesanmu, aku teringak pusi Sapardi djoko Damono.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itutak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itutak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Komentar
Posting Komentar