Filsafat Islam: Al-Kindi

A. AL-KINDI
Al-Kindi adalah filsuf pertama yang muncul di dunia Islam. Dalam buku History of Muslim Philosophy, Al-Kindi disebut sebagai “Ahli Filsafat Arab”. Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ibnu Sabbah Ibnu Imran Ibnu Ismail bin Muhammad bin Al-Ash’ats bin Qais Al-Kindi. Ia lahir di Kufah (185 H/801 M M-252 H/866 M).
Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-Islam. Menurut Faud Ahwani, al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail alAsh`ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi shahabat Rasul. Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah sendiri, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai Gubernur, pada masa khalifah al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-876 M) dan Harun al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).
Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqh dan teologi. Yang perlu dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam, di samping Basrah, dan Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).5 Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring al-Kindi untuk memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-Kindi kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini al-Kindi mencurahkan perhatiannya untuk menterjemah dan mengkaji filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Menurut alQifthi (1171-1248 M), al-Kindi banyak menterjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik dan meringkaskan secara canggih teori-teorinya. Hal itu dapat dilakukan karena al-Kindi diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahasa induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu juga, al-Kindi mampu memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na`ima al-Himsi, seorang penterjemah Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneads inilah yang dikalangan pemikir Arab kemudian disalahpahami sebagai buku Theologi karya Aristoteles (348-322 SM).
Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, al-Kindi kemudian bertemu dan berteman baik dengan khalifah al-Makmun (813-833 M), seorang khalifah dari Bani Abbas yang sangat gandrung pemikiran rasional dan filsafat.  Kemudian, Al-Kindi diangkat menjadi penasehat dan guru pribadi putra Al-Mu’tasim (Ahmad) pada masa khalifah al-Muktashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), karyanya juga masih terkenal pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil (847-861 M). Tetapi pada masa ini, dua putra Musa Ibnu Syakir, yaitu Muhammad dan Ahmad bersekongkol untuk memusuhi orang yang maju dalam ilmu pengetahuan, mengutus Sanad Ibnu Ali ke Baghdad untuk memisahkan Al-Kindi dan Al-Mutawakkil. Persekongkolan mereka berhasil sehingga Al-Mutawakkil memerintah agar Al-Kindi dipecat. Perpustakaannya pun disita, dipencilkan, dan disegel dengan nama “Perpustakaan Al-Kindi”.
Kisah lain tentang Al-Kindi digambarkan dalam karikatur Al-Jahiz dalam kitab Al-Bukhala. Al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah. Di kebun rumahnya, ia memelihara banyak bintanag langka. Ia hidup menjauh dari masyarakat, bahkan dari tetangga-tetangganya. Sebuah kisah menarik oleh Al-Qifti memaparkan bahwa Al-Kindi bertetangga dengan saudagar kaya yang tak tahu bahwa Al-Kindi adalah seorang tabib ahli. Ketika anak sang saudagar tiba-tiba lumpuh dan tak seorang tabib pun di Baghdad mampu menyembuhkannya, seseorang memberi tahu sang saudagar bahwa ia bertetangga dengan filsuf tercermelang, yang amat pandai mengobati penyakit seperti itu. Kemudian Al-Kindi mengobati anak yang sakit lumpuh itu dengan musik.
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M. Menurut Atiyeh, al-Kindi meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa orang terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak lagi disukai, tetapi juga sekaligus kematian seorang filosof besar yang menyukai kesunyian.

B. PEMIKIRAN AL-KINDI
Al-Kindi telah mempermudah akses terhadap filsafat dan ilmu Yunani serta telah membangun fondasi filsafat dalam islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit (sebagian di antarnya diteruskan dan dikembangkan oleh Al-Farabi). Sumber pemikiran Al-Kindi diperoleh dari sumber-sumber Yunani Klasik, terutama Neoplatonis. Risalahnya, Risalah fi Al-Hudud Al-Asyya’, secara keseluruhan dapat dipandang sebagai basis atas pandangan-pandangannya sendiri. Ia diduga meringkas definisi-definisi dari literatur Yunani dengan niat hendak memberikan ringkasan filsafat Yunani dalam bentuk definisi. Kebanyakan definisi itu adalah definisi harfiah yang dipinjam dari Aristoteles. Ketekunan Al-Kindi mengumpulkan definisi dari karya-karya Aristoteles dan kesukaannya pada Aristoteles tidak dapat diabaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain secara keliru ia menisbahkan pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunannya sesuai dengan sumber Neoplatonis.
Pada definisi pertama, Tuhan disebut “Sebab Pertama”, mirip dengan “Agen Pertama”-nya Plotinus, suatu uangkapan yang juga digunakan Al-Kindi atau dengan istilahnya “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Dalam risalahnya, dikemukakan definisi-definisi yang membedakan antara alam atas dan alam bawah secara tersusun. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa. Kemudian, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’), materi (hayula), bentuk (shurah), dan sebagainya. Kerangka besar filsafatnya bermuara kepada Tuhan sebagai sumber filsafatnya.

1. Filsafat Ketuhanan
Selain filsuf, Al-Kindi juga dikenal sebagai ahli ilmu pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan terbagi dalam 2 bagian, yaitu:
a. Pengetahuan ilahi, pengetahuan langsung yang diperoleh nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b. Pengetahuan manusiawi/filsafat. Dasar pengetahuan ini adalah pemikiran.
Menurut Al-Kindi, filsafat ialah pengetahuan tentang yang benar. Disilah terlihat persamaan falsafah dan agama. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, falsafah itulah tujuannya. Bagi Al-Kindi hal pertama yang benar ialah Tuhan, sehingga agama menjadi dasar filsafatnya.
Menurut Al-Kindi Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tuhan bukan seperti benda-benda fisik yang dapat ditangkap indera. Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (dari matter dan form). Tuhan juga tidak memiliki aspek mahiah. Karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan (Nasution, 1973). Tuhan dalam pemikiran Al-Kindi adalah al-Haqq al-Awwal dan al-Haqq alWahid , Yang benar Tunggal dan Ia semata-mata satu. Hanya Ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Pengetahuan ketuhanan (rububiyyah) dimasukkan dalam lapangan filsafat karena memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual manusia.pengetahuan tentang Tuhan diprakarsai oleh akal dalam menangkap isyarat yang diberikan Tuhan melalui berbagai fenomena yang bisa dilihat, dirasa dan dipikirkan manusia. Oleh karena itu, manusia dapat saja mengatakan bahwa membicarakan Tuhan adalah pembicaraan yang supra-rasional. Benar, bahwa Tuhan itu tidak sepenuhnya rasional bila dibicarakan dengan standar rasionalitas manusia. Dalam masalah ini, hal-hal yang supra-rasional mesti dimasukkan ke dalam sistem keyakinan. Meyakini sesuatu yang supra-rasional merupakan bagian dari pekerjaan hati (pemandu rasa). Dari sini kelihatan betapa diutamakannya prinsip keseimbangan antara akal dan hati, antara rasio dan iman.

2. Falsafah Jiwa
Ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan pancaindera hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini, manusia dan binatang sama. Sementara itu, pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia, tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada dalam tubuhnya. Caranya ialah dengan meninggalkan dunia dan berpikir serta berkontemplasi tentang wujud. Jika roh dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersih dari segala roda kematerian, dan senantiasa berpikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai 3 daya, yakni:
1. Daya bernafsu
2. Daya pemarah
3. Daya berfikir [30]
Daya berfikir ini disebut dengan akal, bagi al-Kindi akal terbagi atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Akal bersifat potensial
b. Akal yang keluar dari akal yang potensial
c. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas
Akal yang bersifat potensial, tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar, olehnya itu al-Kindi menambah satu macam akal yang memiliki wujud di luar wujud manusia yang bernama akal yang selamanya dalam aktualitas yang membuat akal menjadi potensial dalam roh manusia menjadi aktuil.

Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi. Hal ini karena roh adalah cahaya dari Tuhan dan roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Akan tetapi jika roh kotor, sebagaimana halnya dengan cermin yang kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan. Roh tidak hancur seperti badan karena substansinya dari Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Setelah roh berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan dan pengetahuan yang sebenarnya karena ia pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (Tuhan) di atas binatang-binatang.

3. Falsafah Alam
Alam, dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu karena gerak alam seabadi penggerak tak tergerakkan (unmovable mover). Keabadian alam, dalam pemikiran Islam ditolak karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan. Mengenai hal ini, Al-Kindi memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketertakhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, serta bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang, dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud begitu erat kaitannya dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan. Waktu bukanlah gerak, namun bilangan pengukur gerak karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian.
Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.

C. KARYA-KARYA AL-KINDI
Dalam tulisan Ahmad Hanafi, jumlah karangan Al-Kindi sebenarnya sukar ditentukan karena dua sebab:
1. Penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah karangannya. Ibn An-Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 risalah (karangan pendek) dan Sha’id Al-Andalusi menyebutnya 50 buah, sedangkan sebagian dari karangan tersebut telah hilang musnah.
2. Di antara karangannya yang sampai kepada kita, ada yang memuat karangan-karangan lain.
Isi karangan-karangan tersebut bermacam-macam, antara lain filsafat, logika, musik, aritmatika, dan lain-lain. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan-persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata-kata daripada menyelami problema filsafat. Pada umumnya, karangan-karangan Al-Kindi terbentuk ringkas dan tidak mendalam.
Gambaran karya Al-Kindi menunjukkan betapa luas pengetahuan Al-Kindi. Beberapa karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Geran dari Cremona ke dalam bahasa Latin, dan karya-karya itu sangat memengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Cardam menganggap Al-Kindi sebagai salah satu dari dua belas pemikir terbesar. Sarjana-sarjana yang mempelajari Al-Kindi, sampai risalah-risalah Al-Kindi yang berbahasa Arab ditemukan dan disunting semata-mata berdasarkan terjemahan bahasa Latin.
Beberapa karya tulis al-Kindi antara lain:
1. Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama)
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al Muqtashah wa ma fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika).
3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika).
4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya).
5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan klasifikasinya).
6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya).
7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan).
8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al  Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif).
9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual).
10. Dan Risalah fi al-Ibanah an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah