Sejarah Tamansiswa




Tamansiswa merupakan sebuah organisasi pendidikan dan pembentukan karakter kebangsaan yang memiliki pengaruh sangat besar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai saat ini, masalah pendidikan dan pembentukan karakter peserta didik dapat dikatakan sudah menjadi identitas Tamansiswa. Banyaknya sekolah yang berhasil dirikan oleh Tamansiswa menjadi bukti yang sangat konkret bahwa Tamansiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam proses menyiapkan generasi bangsa yang cerdas, berpendidikan, terwawas dan berkarakter kebangsaan.

Dalam konteks ini, Tamansiswa tidak hanya berhasil mengentaskan bangsa Indoensia dari kebodohan dan penindasan, namun juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan modern yang terjaga identitas dan kelangsungannya sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sendiri. Membicarakan Tamansiswa tentu saja tidak dapat dilepaskan dari pemikiran pendirinya, yakni Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok nasionalis, pemikir, seniman, jurnalis, penulis dan seorang guru atau pamong yang memiliki kedudukan penting di lingkungan Tamansiswa. Hal itu karena beliau adalah peletak dasar-dasar pendidikan kebangsaan yang berdiri di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 Masehi tersebut. Dalam konteks yang lebih luas lagi, Ki Hadjar Dewantara adalah seorang tokoh bangsa Indonesia yang berani melakukan perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan di negeri ini. Mengajak masyarakat yang bodoh dan buta huruf agar melek aksara. Mengajak masyarakat yang tadinya berada dalam kedekilan dan kedegilan ke arah pembentukan masyarakat yang cerdas, berpendidikan, berkarakter, dan berdaya saing. Pendek kata, Ki Hadjar Dewantara adalah satu di antara tokoh bangsa Indonesia yang sangat peduli dengan pendidikan dan pembentukan karakter anak-anak Indonesia. Dengan usaha dan kerja kerasnya, Ki Hadjar Dewantara berhasil mengembalikan sistem pendidikan di Indonesia sesuai dengan alam pemikiran masyarakat Indonesia.

Rekam jejak perjalanan dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara secara nyata dapat kita lihat dan saksikan dari Tamansiswa yang masih berdiri hingga kini. Meski udah banyak cabang-cabang sekolah yang terpaksa ditutup karena tersandung masalah biaya, tapi pemikiran dan gagasan Ki Hadjar Dewantara tak pernah lekang di makan usia. Pemikiran dan gagasan lelaki pemilih nama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu tetap menjadi rujukan, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju lainnya—khususnya Firlandia.

Mengingat besarnya peran Ki Hadjar Dewantara dalam mengembangkan pendidikan berkarakter di Nusantara, tidak heran jika sampai saat ini kisah kehidupan dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara banyak tertulis dalam bentuk buku-buku biografi, juga buku-buku yang membahas tentang perkembangan Tamansiswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa, Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok yang tidak dapat dilepaskan dari ingatan generasi bangsa Indonesia, khususnya Tamansiswa sebagai sebuah organisasi kebangsaan yang mengedepankan sistem pendidikan karakter di negeri ini.

Jika kita tengok ke belakang, maka kita akan mendapati bahwa Ki Hadjar Dewantara merupakan salah seorang di antara Bapak Bangsa dan Pahlawan Nasional. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan untuk kalangan Inlander sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Perjalanan hidup beliau—sejak lahir sampai meninggal dunia—benar-benar diwarnai dengan semangat perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa Indonesia.

Keras tapi tidak kasar. Itulah kepribadian khas Ki Hadjar Dewantara yang diakui oleh teman-teman seperjuangannya. Kesetiaannya pada sikap dan idealismenya selalu tergambar jelas dalam setiap tindakan dan kiprahnya. Meskipun secara fisik terlihat ringkih, tapi semangat juangnya menggelora. Pidato-pidatonya yang lantang dan penuh ghiroh, menjadi pembangkit persatuan rakyat Indonesia. Ketajamannya dalam memberikan kritik pada pemangku kekuasaan membuat Pemerintah Belanda gerah.

Pada saat itu Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai seorang jurnalis yang sangat handal. Banyak kalangan yang menilai jika tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara sangat komunikatif, tajam dan menggelorakan semangat perjuangan kaum pergerakan (Boemi Poetra), sehingga karya-karyanya tersebut mampu membangkitkan semangat anti penjajah bagi pembacanya—khususnya kaum pergerakan. Ketajamannya dalam mengritik membuat Pemerintah Belanda gerah.

Meskipun berulangkali ditangkap dan dipenjara, tapi semangatnya untuk membela kepentingan jelata tak kunjung padam. Semakin ditekan oleh penjajah, maka laki-laki trah Puro Pakualaman itu akan semakin keras menyatakan permusuhan dengan bangsa koloni itu. Pada saat Indische Partij (IP)—partai politik yang didirikan bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo—dibrandel oleh Pemerintah Belanda pada 1912 dia tidak kehilangan asa. Justru hal itu membuatnya semakin berani mengolok-olok komunitas rambut pirang yang saat itu menjadi pemangku kekuasaan tanah leluhurnya.

Kekesalan-kekesalan putra Pangeran Soerjaningrat pada Belanda itu juga banyak dituangkan melalui tulisan-tulisannya di Majalah De Express, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Saat pemerintah penjajah bermaksud merayakan kemerdekaan negerinya di Indonesia, santri Haji Soleman Abdurrohman itu juga menyampaikan kritikan pedas. Sehingga membuat telinga Gubernur Jenderal Belanda panas.

Dalam artikel yang diberi judul judul Als Ik Eens Nederlander Was siswa gagal STOVIA itu mengungkapkan, betapa tidak malunya orang-orang Belanda merayakan kemerdekaannya dengan memakai uang rakyat yang hidup dinegeri jajahannya. Keseriusannya dalam membela kepentingan-kepentingan jelata juga tercermin saat dengan beraninya Ki Hadjar Dewantara mengirim surat kepada Ratu Belanda. Meminta agar Pasal 11 Undang-Undang Governemen Hindia Belanda tentang larangan orang-orang Inlander mendirikan partai politik dihapus.

Sebagai akibat dari sikapnya yang berani itu, Pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan Ki Hadjar Dewantara ke Negeri Belanda enam tahun. Di tanah asing itulah Ki Hadjar Dewantara secara tekun mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Berkat kegigihannya itu, maka Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europesche Akte.

Setelah kembali ke tanah air pada 1919, Ki Hadjar Dewantara mulai tertarik untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Berangkat dari impian dan cita-cita luhurnya itu, pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar Dewantara dan teman-teman seperjuangannya mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa.


Sejak saat itu Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh Boemi Poetra yang memiliki dedikasi tinggi terhadap nasib bangsa Indonesia dengan membawa spirit kerakyatan. Menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangannya. Meskipun beliau adalah seorang bangsawan, tapi beliau tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil, demi menjalankan misi perjuangannya yang pro rakyat.

Melalui Perguruan Tamansiswa yang digagasnya itulah, Ki Hadjar Dewantara berjuang untuk menunjukkan keyakinannya. Bahwa tujuan terpenting dari proses pendidikan adalah membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang merdeka. Menjadi ikhtiar untuk menyiapkan generasi bangsa Indonesia yang bebas dari cengkeraman penjajah, tidak hidup diperintah, berdiri di atas kaki sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah