Biografi KH. Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim nama lengkapnya. Ia lahir pada
Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H/1 Juni 1914 M dari pasangan Hasyim Asy’ari
dan Nafiqah Binti Ilyas. Semula sang Ayah memberinya nama Muhammad Asy’ari,
yang diambil dari nama kakeknya. Namun, karena ia sering sakit-sakitan, maka
sang Ayah mengganti nama Abdul Wahid, yang diambil dari nama datuknya. Abdul
Wahid adalah anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Sang
Ayah, Hasyim Asyari, adalah seorang ulama besar dan pimpinan Pondok Pesantren
Tebuireng yang sangat dihormati oleh masyarakat karena kearifan, kebijakan, dan
kedalaman agamanya. Sebagai seorang anak tokoh agama, sejak kecil Abdul Wahid
sudah dididik dengan ilmu agama secara ketat oleh orangtuanya. Sejak kecil,
Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan dididik langsung oleh Ayahnya.
Kecerdasan Abdul Wahid yang luar biasa membuatnya cepat menyerap berbagai macam
pelajaran agama yang diberikan oleh Ayahnya, juga oleh guru-gurunya yang lain
di Madrasah Tebuireng. Abdul Wahid dinilai sebagai anak yang gemar membaca,
suka mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Ia juga
gemar mempelajari syair-syair berbahasa Arab dan kemudian menyusunnya ke dalam
sebuah buku.
Saat usianya sudah 13 tahun, Abdul Wahid Hasyim
meminta izin pada orangtuanya agar diperbolehkan belajar agama di
pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur. Niat baik anak itu untuk melakukan
pengembaraan mencari ilmu mendapat restu dari kedua orangtuanya. Awalnya ia
belajar agama di Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok
selama 25 hari, sejak awal Ramadhan hingga 25 Ramadhan 1346 H. Dari Sidoarjo,
Abdul Wahid Hasyim melanjutkan perjalanan spiritualnya ke Pesantren Lirboyo,
Kediri—sebuah yang didirikan oleh Kyai Haji Abdul Karim, salah seorang teman
dan murid kesayangan orangtua Abdul Wahid Hasyim. Selama 2 tahun, Abdul Wahid
Hasyim menjadi Santri kelana, berpindah dari pesantren satu ke pesantren lain
untuk memperdalam ilmu agama. Setelah puas dengan perjalanan spiritualnya, pada
1929 ia kembali ke Pesantren Tebuireng.
Pada saat kembali kepangkuan orangtuanya, usia
Abdul Wahid Hasyim baru 15 tahun, dan sudah mengenal huruf latin. Dengan
mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu
bumi, bahasa asing, matematika, perbintangan, ilmu sosial, dan berbagi macam
disiplin ilmu yang lainnya. Ia juga hampir setiap harti membaca koran dan
majalah, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab. Kehausan akan ilmu pengetahuan
juga mendorong Abdul Wahid Hasyim untuk membaca dan berlangganan majalah Sumber
Pengetahuan, yaitu sebuah majalah yang diterbitkan dalam tiga bahasa di kota
Bandung. Saat itu, Abdul Wahid Hasyim hanya mengambil dua bahasa, yaitu Bahasa
Arab dan Belanda. Setelah berhasil menguasai bahasa Belanda dengan baik, putra
Hasyim Asy’ari itu pun mulai belajar bahasa Inggris.
Pada 1932, Abdul Wahid yang baru berusia 18 tahun
berangkat ke Makkah bersama salah seorang sepupunya yang bernama Muhammad
Ilyas. Selain bertujuan untuk menunaikan ibadah haji, Abdul Wahid juga berniat
untuk belajar agama Islam di tanah suci. Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan
itulah yang membuat Abdul Wahid betah bermukim selama 2 tahun di Makkah. Selama
tinggal di sana, ia memperdalam ilmu nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis.
Sepulang dari tanah suci, Abdul Wahid membantu sang Ayah mengajar di Pesantren
Tebuireng. Ia juga terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk
mensyiarkan Islam, sehingga masyarakat mengenalnya dengan sebutan Kyai Haji
Wahid Hasyim. Kecerdasan dan pemahamannya yang mendalam pada ilmu pengetahuan
membuat sang Ayah memintanya untuk membantu menyusun kurikulum pesantren,
menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, juga
diminta mewakili sang Ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh agama
yang ada di zamannya. Lebih dari itu, jika sang Ayah sedang berhalangan, Abdul
Wahid diminta menggantikannya mengisi kajian kitab Shahih Bukhari, yaitu
pengajian tahunan yang selalu dipimpin langsung oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari
setiap tahun dan dihadiri oleh para ulama dari Jawa dan Madura.
Pada Jumat, 10 Syawal 1356 H/1936 M, Abdul Wahid
menikah dengan Munawaroh/Sholihah, putri Kyai Haji Bisyri Sansuri dari Denanyar
Jombang. Yang menarik dari pernikahan Abdul Wahid ini adalah bahwa sebagai
mempelai laki-laki, ia datang seorang diri ke Denanyar. Saat itu, ia datang ke
rumah calon istrinya dengan hanya mengenakan baju lengan pendek dan sarung.
Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholihah dikaruniai enam orang putra-putri,
yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad
Hasyim.
Dengan berbekal ilmu yang luas, wawasan global, dan
pengalaman yang luas, Abdul Wahid berusaha melakukan terobosan-terobosan besar
untuk kemajuan Pesantren Tebuireng. Sebagai langkah permulaan, ia mengusulkan
agar sistem pengajaran di pesantren yang klasikal dirubah menjadi sistem
tutorial dengan memasukkan materi pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren.
Sayang, usul itu ditolak oleh sang Ayah dan baru terlaksana pada 1935 M saat
mulai diaktifkannya Madrasah Nidzamiyah, di mana 70% kurikulumnya berisi materi
pelajaran umum. Saat itu, Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid
Tebuireng, dan diasuh langsung oleh Abdul Wahid. Awalnya, santri yang belajar
di Madrasah itu hanya berjulah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim
Hasyim. Di madrasah itu, diajarkan tiga bahasa sebagai sarana berkomunikasi,
yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda. Pada 1936 M, Abdul Wahid
mendirikan Ikatan Pelajar Islam dan mendirikan perpustakaan di Tebuireng dengan
tujuan untuk meluaskan khasanah pengetahuan keilmuan para santri dengan
membiasakan mereka untuk gemar membaca. Sebagai penggagas berdirinya taman
bacaan di Tebuireng, untuk meluaskan wawasan para santri, Abdul Wahid
berlangganan majalah Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil,
Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan
majalah-majalah pergerakan lainnya. Langkah ini dipilih Abdul Wahid sebagai
terobosan besar agar wawasan santri mendunia dan tidak hanya terkurung dalam
budaya pesantren yang bersifat tradisional.
Selain sibuk membantu Ayahnya membesarkan
Tebuireng, Abdul Wahid juga aktif di organisasi Nahdhatul Ulama—organisasi
Islam yang didirikan Ayahnya pada 1926 M. Sebagaimana layaknya anggota yang
lain, karir Abdul Wahid di NU juga dimulai dari bawah. Awalnya, ia menjadi
Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian pada 1938 ia terpilih sebagai Ketua
Cabang NU di Kabupaten Jombang. Pada 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis
Islam A'la Indonesia (MIAI). Melalui keputusan Kongres Majelis Islam A'la
Indonesia (MIAI) yang diselenggarakan pada 14-15 September 1940 di Surabaya,
Abdul Wahid terpilih sebagai ketua MIAI. Di tahun yang sama, ia masuk dijajaran
kepengurusan PBNU bagian pendidikan. Di bagian pengembangan pendidikan NU
inilah Abdul Wahid berusaha untuk mengembangkan dan melakukan reorganisasi
terhadap madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Selain itu, ia juga giat
menggelorakan semangat santri untuk menghidupkan tradisi tulis-menulis di
kalangan NU. Sebagai langkah awal, ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul
Ulama. Juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU. Pada 1946 ia terpilih
sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU, menggantikan Kyai Achmad Shiddiq yang meninggal
dunia.
Pada 1942 M, Pemerintah Jepang menangkap Kyai Haji
Hasyim Asy'ari karena menentang perintak Sekerei. Setelah ditahan selama
beberapa hari di Jombang, pendiri Pesantren Tebuireng itu dipindah ke Rumah
Tahanan di Surabaya. Abdul Wahid berusaha membebaskan sang Ayah dengan cara
melakukan lobi-lobi politik dengan para petinggi Dai Nippon di Jakarta. Usaha
Abdul Wahid membuahkan hasil, sehingga Ayahanya dibebaskan pada Agustus 1944 M.
Saat Dai Nippon membentuk Chuuo Sangi In, Abdul Wahid dipercaya menjadi
anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia yang lain.
Seperti, Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hadjar
Dewantara, Iskandar Dinata, dan Dr. Soepomo. Saat menjadi anggota Chuuo Sangi
In inilah Abdul Wahid meyakinkan Pemerintah Dai Nippon untuk membentuk Badan
Jawatan Agama yang bertujuan untuk menghimpun para ulama dan tokoh-tokoh agama
di Indonesia.
Pada 29 April 1945, Pemerintah Dai Nippon membentuk
Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dan Abdul Wahid menjadi salah satu anggotanya. Di antara
anggota yang lain, ia adalah yang paling muda dari sembilan tokoh nasional yang
ikut menandatangani Piagam Jakarta. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia
berhasil menjadi penengah antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk
Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan
syariat Islam.
Pada November 1947, Abdul Wahid dan Mohammad Natsir
mengagas dilaksanakannya Kongres Umat Islam Indonesia, yang akhirnya
diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam kongres itu diputuskan untuk mendirikan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik
Islam yang ada di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim
Asy’ari. Hanya saja, sang Ayah melimpahkan semua tugasnya sebagai Ketua Masyumi
kepadanya. Selama berkiprah di Masyumi inilah Abdul Wahid mulai dekat dengan
tokoh-tokoh Islam nasional. Seperti, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo,
KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr.
Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad
Natsir, dan lain sebagainya. Masih di tahun yang sama, tak lama setelah sang
Ayah meninggal dunia, Abdul Wahid terpilih sebagai Pimpinan Tebuireng secara
aklamasi.
Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi
Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa
(kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke
Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman. Pada Juni 1952 M,
NU menyatakan keluar dari Masyumi. Keputusan ini diambil saat dilangsungkannya
Kongres Nahdhatul Ulama yang ke-19 di Palembang pada 26 April—1 Mei 1952.
Secara pribadi, Abdul Wahid tidak pernah setuju NU keluar dari Masyumi. Namun
karena hal itu sudah menjadi kesepakatan bersama tokoh-tokoh NU, maka ia pun
tetap menghormatinya. Meski sudah tak lagi aktif di Masyumi, tapi hubungan
Abdul Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi masih tetap terjalin dengan baik.
Sabtu 18 April 1953, Abdul Wahid, Argo Sutjipto,
Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur), Argo Sutjipto, dan seorang wartawan Harian
Pemandangan melakukan perjalanan untuk menghadiri acara Nahdhatul Ulama di
Sumadang, Jawa Barat. Di dalam mobil, Abdurrahman duduk di kursi paling depan
disamping sopir. Abdul Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.
Memasuki daerah Cimahi, hujan turun dengan lebatnya, membuat jalan menjadi
licin. Pukul 13.00, rombongan Abdul Wahid memasuki daerah Cimindi, yaitu sebuah
daerah yang terletak antara Cimahi-Bandung. Lalu lintas sangat padat. Jalan
yang licin membuat mobil selip dan sopir tidak bisa menguasai laju kendaraan.
Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Dari arah depan, truk yang melaju
kencang dan terpaksa harus berhenti mendadak saat sang sopir melihat ada mobil
zig-zag dari arah berlawanan. Karena sopir sudah tak mampu lagi menguasai mobil
Chevrolet yang dinaiki Abdul Wahid itu, maka tabrakan pun tak dapat dihindari.
Abdul Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti.
Keduanya luka parah. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, Abdul
Wahid menghembuskan napasnya yang terakhir dalam usia 39 tahun. Jenazah Abdul
Wahid kemudian dibawa ke Jakarta. Dari Jakarta, jenazah ulama muda itu
diterbangkan ke Surabaya. Dari Bandara Juanda, Surabaya, iring-iringan jenazah
Abdul Wahid disambut dengan banjir air mata oleh rakyat sampai di rumah yang sangat
dicintainya, Tebuireng, Jombang.
Komentar
Posting Komentar