Sejarah kopi dan Rokok Dan hukum-Nya





Kutipan dari Syeikh Ihsan bin Syeikh Muhammad Dahlan (1901-1952), Jampes, Kediri, Jawa Timur, sudah menuliskan perdebatan ulama seputar rokok dalam kitabnya “Irsyad al-Ikhwan: Fi Bayani Ahkami Syurb al-Dukhan wa al-Qahwa”. (Petunjuk Kawan: Tentang Hukum Merokok dan Meminum Kopi).

Pada awal-awal kemunculanya rokok (tembakau) belum dikenal dalam dunia Islam. Terbukti, misalnya, istilah tembakau sendiri bukanlah berasal dari Bahasa Arab. Ada beragam nama untuk menyebut kata ini, di antaranya “tûtûn” dan “at-tanbâk”. Istilah medis menyebutnya “banbajir”.

Tembakau pertama kali ditemukan di daerah Tabacco, Meksiko. Setelah bangsa Eropa (Colombus) menemukan kepulauan Karibia dan di sana banyak sekali tanaman tembakau, serta kebiasaan penduduknya menghisap rokok yang terbuat dari daun tembakau, orang-orang migaran Eropa membawa biji tembakau untuk dibudidayakan di Eropa. Diperkirakan hal itu terjadi pada 1518 M/930 H. Kemudian pada 1560 M/977 H rokok mulai populer dan menyebar luas di Dunia Eropa.

Begitu juga dengan kopi. Kopi baru dikenalkan pada Dunia Arab,  Asia dan Afrika pada sekitar 1600 M/1017 H.  Tentang hukum kopi, di antara ulama masih berbeda pendapat. Bab tiga (hal. 19-62) berisi penjelasan seputar pendapat beberapa ulama yang mengharamkan rokok. Sejumlah ulama seperti Syihabuddin al-Qulyubi, Ibrahim al-Luqani, Hasan al-Syarnabila, al-Tarabisyi, memilih untuk menghukumi haram. Alasannya, rokok dapat mendatangkan bahaya, pemakainya akan mudah terserang penyakit, merusak otak, dan mengganggu kesadaran. Karena itu, merokok sama dengan menyakiti diri sendiri, di mana tindakan tersebut sangat-sangat dilarang oleh agama.

Menurut al-Allamah al-Syihab al-Qulyubi, rokok menyebabkan kekebalan tubuh melemah, sehingga mudah terserang penyakit. Penyakit yang biasa menghinggapi perokok adalah penyakit Tarahil dan Tanafis. Penyakit Tarahil adalah penyakit yang menyebabkan seluruh otot kendur. Sedangkan penyakit Tanafus menyebabkan pori-pori tubuh membesar. Juga menyebabkan kepala pusing dan mabuk. Al-Laqani malah menyamakan rokok dengan kecubung dan opium. (hal. 19)

Alhasil.  Ada empat alasan ulama mengharamkan rokok. Pertama, rokok dianggap dapat membahayakan kesehatan, seperti yang banyak disinggung ahli medis. Kedua, rokok dapat “melemahkan” penggunanya. Seperti yang dikatakan Hadis Nabi SAW, bahwa beliau mencegas sesuatu yang memabukkan dan melemahkan. Rokok termasuk yang kedua. Ketiga, aroma dan asap rokok dapat mengganggu orang lain. Ini sangat dilarang agama. Bukankah banyak hasi-hadis Nabi SAW yang melarang memakan makanan yang baunya tak sedap. Menurut pendapat ini, rokok termasuk di dalamnya. Dan yang keempat lebih melihat pada asas manfaatnya. Menurut pendapat ini, rokok tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan membahayakan. Membeli rokok sama dengan membuang-buang harta.

Sedangkan Bab empat (hal. 26-41) berisi pendapat ulama yang membolehkan rokok sekaligus memuat bantahan (counter) terhadap ulama yang mengharamkannya. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Abdul Ghani al-Nabulusi dan Ali al-Syibramilisi, pengaharam rokok tidak berdasar sama sekali, karena tidak ada satupun hadis ataupun ayat al-Quran yang secara tegas melarangnya. Menurutnya, hukum haram hanya berlaku bagi mereka yang sakit, mudah terserang penyakit, yang apabila merokok maka akan membahayakan, bahkan memperparah sakitnya.

Sementara pendapat yang mu’tamad memilih hukum makruh. Pendapat ini disinyalir oleh al-Bajuri didalam kitabnya. Menurut al-Bajuri, pendapat yang mengharamkan rokok berasal dari qaul dha’if (lemah). Pendapat al-Bajuri ini didukung Muhammad Said dan Muhammad Ibnu Musa.

Dengan demikian, status hukum yang menempel pada rokok bukan disebabkan pada dirinya sendiri, dzat rokok, melainkan oleh sesuatu yang lain (amrun kharij). Hakikatnya, rokok tidak dapat dihukumi apapun. Yang mengatakan rokok haram, beralasan bahwa rokok membahayakan, dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya, bagi yang membolehkan, merokok tidak membahayakan. Apalagi, tidak ada satupun dalil-dalil yang menegaskan keharamannya.

Dalam kaidah fiqh dikenal “al-Ashl baqa’u ma kaana ala ma kana” (hukum asal sesuatu tergantung pada awal penciptaannya). Ada dua pendapat soal hukum asal sesuatu. Yang pertama mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah boleh (al-ashlu al-ibahah), kecuali terdapat dalil-dalil (nash) yang menyatakan sebaliknya. Sedangkan yang kedua mengatakan asal segala sesuatu adalah tidak boleh (al-ashlu al-tahrim). Pendapat yang pertama lebih unggul. Uniknya, dari sekian pendapat yang ada, baik pro maupun kontra, tidak satupun yang mengungkapkan berdasarkan alasan-alasan keagamaan. Semuanya bermuara pada satu pertanyaan: apakah rokok berbahaya? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan status hukum rokok.

Seperti kita ketahui, ulama yang mengharamkan rokok berpegang dan didasarkan pada pertimbangan dan temuan medis: rokok berbahaya bagi kesehatan. Sementara bagi yang menolak tidak percaya begitu saja terhadap pendapat tersebut. Lantas, pertanyaannya: siapakah yang berhak menentukan bahaya-tidaknya rokok? Di sinilah peran kuasa dan kaitannya dengan pengetahuan dapat kita ketahui. Siapapun yang (dianggap) mengetahui sesuatu, maka ia berkuasa untuk menentukan sesuatu itu. Karena dokter dianggap (satu-satunya) memiliki pengetahuan tentang hal-ikhwal penyakit dan kesehatan, maka ia berhak untuk menentukan pasiennya.

Inilah zamannya ilmu medis yang dirasuki cara berpikir positivistik.  Ilmu medislah yang berkuasa menentukan rokok sebagai patologi yang merusak masa depan kehidupan manusia. Sementara pengetahuan yang lain yang tidak sejalan akan disingkirkan dan ditaruh dalam kotak. Jangan harap pengetahuan dukun atau klenik mendapat tempat atau dapat bersuara di zaman sekarang ini.

Padahal, berdasarkan data-data sejarah, dalam kurun waktu tertentu rokok tidaklah dianggap penyakit, malah dijadikan sebagai media pengobatan, bahkan sebagai perantara dunia spiritual. Di sinilihah urgensi pemikiran Foucault dalam membedah relasi kuasa dan pengetahuan. Bagaimana persepsi tentang sesuatu (wacana) dipengaruhi oleh episteme yang berlaku pada saat itu. 

Sejarah (hukum) rokok Sebagaimana yang disebutkan Kiai Ihsan di atas, bahwa tembakau berasal dari benua Amerika. Menurut sejarahnya, sekitar 100 tahun SM suku-suku di sana, terutama suku Maya, Aztek, dan Indian, sudah terbiasa menggunakan rokok sebagai media pengobatan, ritual pemujaan terhadap dewa-dewa, juga sebagai pengusir roh-roh halus. Setelah Colombus menemukan benua Amerika dan membangun koloni-koloni di sana, tembakau dan kebiasaan merokok mulai dikenalkan pada masyarakat Eropa. Bibit-bibit tembakau dibudidayakan di Eropa. Tercatat, Jean Nicot adalah orang yang pertamakali mempopulerka rokok di benua Eropa. Sejak itu, rokok menjadi satu-satunya komoditas yang menguntungkan. Idustri rokok bermunculan di mana-mana.

Begitu juga dengan sejarah penemuan rokok kretek (rokok racikan tembakau dan cengkeh). Konon, sejarahnya bermula dari Haji Djamari, laki-laki asal Kudus. Djamari mengeluh karena penyakit asma yang dideritanya tak kunjung sembuh. Awalnya ia mengoleskan minyak cengkeh di dadanya. Kemudian ia mencoba-coba mencampurkan cengkeh dengan tembakau untuk dijadikan rokok. Anehnya, dengan cara itu ia bisa sembuh dari penyakitnya. Mulai saat itu, Djamari mengenalkan rokok hasil racikannya ke masyarakat.

Baru pada pertengahan abad 20 pandangan terhadap rokok mulai berubah. Rokok mulai dihubung-hubungkan dengan kesehatan. Asosiasi dokter bedah Amerika mulai melakukan kampanye bahwa rokok dapat menyebabkan kangker paru-paru. Mulai saat itu iklan rokok dilarang. Di Inggris pelarangan rokok dimulai tahun 1965, sedangkan Amerika tahun 1970. Di siniliah konstruksi tentang bahaya rokok mulai dibangun. Bermula dari penelitian medis yang menggunakan uji statistik, misalnya, sekelompok orang yang menghabiskan rokok dalam jumlah besar akan lebih mudah beresiko terkena penyakit dibanding orang yang merokok biasa saja. Uji sample ini diterapkan dan berlaku pada setiap perokok di belahan dunia manapun.

Selanjutnya, wacana rokok yang dibangun dan dikonstruksikan oleh kalangan medis pada akhirnya dipakai para ulama dalam merumuskan dan memutuskan status hukum rokok. Di sinilah antar wacana kemudian bertemu dan berbicara dalam tema yang sama. Hal ini, oleh Foucoult, disebut formasi diskursif. Dengan cara seperti inilah “kebenaran” dibangun.

Merawat keberagaman
Dalam kitabnya ini, Kiai Ihsan menyebutkan semua pendapat ulama, baik yang menghalalkan maupun yang mengharamkan rokok dan kopi, dengan argumentasi masing-masing, tanpa disembunyikan, ditutup-tutupi, apalagi dipukul rata (melakukan generalisasi). Dengan keragaman pendapat itu, Kiai Ihsan ingin menunjukkan bahwa “kebenaran” tidaklah tampil tunggal. Ia muncul dengan spektrum yang berbeda-beda. Semuanya diserahkan sepenuhnya tergantung pada pilihan, penilaian, dan persepsi pembaca (reader) untuk mengikuti qaul (pendapat) manapun.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah