Makalah : Tasawuf Akhlaqi



MAKALAH

Tasawuf Akhlaqi

Dosen pengampu :

Zainal Alim, LC



logo-kampus
 













DISUSUN OLEH :

                                                         1. Irgi Nur Fadil
2. Bima Dwi Laksana
    3. Prasetya Aji Pangestu
                                                         4. M. Hambali




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDATUL ULAMA
(STAINU) JAKARTA
2016




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            
         Tasawuf dalam islam menurut para ahli sejarah sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Lahir sekitar abad ke-2 atau awal abad ke-3 hijriyah. Pembicaraan para ahli lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf. Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit.Tasawuf pada zaman dulu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu. Sejarah perkembangan tasawuf akhlaqi mengalami beberapa fase. Mulai abad kesatu sampai abad keenam hijriyah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi tasawuf Akhlaqi?
2.      Bagaimana sejarah lahirnya tasawuf akhlaqi ?
3.      Siapa saja tokoh tasawuf akhlaqi ?
4.      Bagaimana ajaran tasawuf akhlaqi ?
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf Akhlaqi

         Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis.

Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[1]

                  
















B. Sejarah Pekembangan Tasawuf

          Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani Tasawuf sunni adalah aliran sufi yang pendapat moderat dan ajaran tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf aliran ini akan selalu berpatokan syari’at. Aliran ini tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriah. Aliran tasawuf sunni ini mendapat sambutan seiring dengan berkembangnya aliran teologi Ahlussunnah wal jamaah yang dilancarkan oleh Abu al-Hasan al-Asya’ri atas aliran-aliran lainnya dengan kritiknya yang luras terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Halley dan para sufi lainnya.Tasawuf Sunni mengadakan  pembaharuan dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah kepada kedua landasan tersebut. Tokoh yang paling berpengaruh dalam aliran ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali. Dengan demikian pada abad kelima Hijriah, Tasawuf sunni berada dalam posisi yang sangat menentukan dan memungkinkan tersebar luas di kalangan masyarakat Islam sampai sekarang.
Tasawuf sunni ialah aliran tasaawuf  yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari’at,  yang
senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat. Tasawuf Akhlaqi yaitu tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral).
Tasawuf sunni banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf  lebih-lebih pada abad  ke-5 H aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.[2]

C. Tokoh-tokoh tasawuf

1.      Hasan Al-Bashri
a. Biografi Singkat
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang sangat amat mashur dikalanagan tabiin ia lahir di madinah pada tahun 21 Hijriyah (632 Masehi) dan wafat pada hari kamis bulan rojab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum kholifah Umar bin Khattab wafat. Ia di kabrakan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan badar dan 300 sahabat lainnya[3]
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di masjid basroh. Karir pendidikan hasan Al-Basri di nilai dari Hijaz. Ia berburu hampir kepaada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya ia kemudian pindah ke basroh, tempat yang membuatnya mashur dengan nama Hasan Al-Basri puncak keilmuannya ia peroleh disana. Dia kenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan dalam kebenaran.

2.        Al- Muhassibi (165-243 H)
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Lahir di Bashroh, Irak, tahun 165 H/781 M. Meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M . beliau adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti Tasawuf, Hadits, dan Fiqih. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa.
 Al-Muhasibi menulis sejumlah buku. Menurut Abd Al-Mun’im Al-Hafni, seorang ahli tasawuf dari mesir Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf  karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok-kelompok. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tau benar tentang keakhiratan. Namun jumlah mereka sangat sedikit. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan pada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani rosul.
Ajaran-ajaran tasawuf beliau adalah Ma’rifat, khauf dan Raja’:
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Inilah yang mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula, ia menuturkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW., “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya. ’’ berdasarkan hadis tersebut, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. [4] 

3.      Al-Ghozali
Al-Gozali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al- Razkani al-Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al-Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al-Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al- Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H,


             Ajaran-Ajaran tasawuf Al- Ghazali:
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Gozali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Corak tasawuf al-ghozali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Dapat dilihat dari karya-karyanya seperti ihya’Ulum Ad-din, Minhaj Al-Abidin, Bidayah Al-Hidayah.
Al-ghozali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasadan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu meniptakan(sa’adah).
a.       Ma’rifat menurut ajaran Al-ghozali, sebagai mana dijelaskan oleh Harun Nasution, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sirr, qalb dan ruh. Qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong tidak ber isi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Dan pada waktu itu pula menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah.
b.      Sa’adah menurut Al-ghozali , kelezatan dan keni’matan tertinggi adalah melihat Allah. Didalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Ni’matnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian dengan anggota tubuh yang lain, memiliki keni’matan tersendiri.[5]



D. AJARAN TASAWUF AKHLAQI

           Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

      1.Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

      2.Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Sikap mental dan perbuatan yang baik sangat penting diisikan kedalam jiwa manusia akan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut:

a.       Taubat: Yaitu rasa penyesalan sungguh sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan perbuatan yang menimbulkan dosa.

b.      Cemas dan Harap (Khauf dan Raja’) : yaitu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan seringkali lalai kepada Allah.

c.       Zuhud:  Yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.

d.      Al-Faqr: Yaitu sikap yang tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.

e.       Al-Sabru: Yaitu suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.

f.       Ridha: Yaitu menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah.

g.      Muraqabah: yaitu seseorang menyadari bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah sehingga selalu membawanya pada sikap mawas diri atau self correction.

3.Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[6]

.








BAB III
PENUTUP




A. Kesimpulan
          
             Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentrasinya pada teori- teori perilaku, akhlak atau budi pekerti. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh ulama-ulama salaf. Tasawuf akhlaqi banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf lebih-lebih pada abad  ke-5 H aliran syi’ah al-islamiyah yang  untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.




















Daftar Pustaka




S.H. Nashr, Tiga pemikiran Islam, (Ibnu Sina, Suhrawardi, dan ibn Arabi), terj. Ahmad Mujahid, Risalah, Bandung, 1986
Hasan Baharun, Dasar Ajaran Sufi, Pustaka Bayan, Malang, 2007,
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina ilmu, Surabaya, 1998




[1] S.H. Nashr, Tiga pemikiran Islam, (Ibnu Sina, Suhrawardi, dan ibn Arabi), terj. Ahmad Mujahid, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 5.

[2] Hasan Baharun, Dasar Ajaran Sufi, Pustaka Bayan, Malang, 2007, H.41-45.


[3] Hamka, Tasawuf: Perkembangan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1986, hlm. 76
[4] Ibrahim hilal, Al-tashawwuf Al-islami bain  Ad-din wa Al-falsafah, Kairo: Dar An-nahdhah Al-‘Arabiyyah, 1979, hlm. 58
[5] Ibid., 56.

[6] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina ilmu, Surabaya, 1998, hlm.82-89
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )