makalah : ijma' dan Qiyas fiqh ibadah



MAKALAH
Kutipan Langsung dan Kutipan Tidak Langsung
Dosen pengampu : Fariz Al Nizar M.Hum



 








DISUSUN OLEH : Irgi Nur Fadil




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDATUL ULAMA
(STAINU) JAKARTA
2016


KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
            Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
            Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan umumnya pembaca.





Jakarta, 20 Desember 2016


                                                                                                                Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar  ..............................................................................................
Daftar Isi   ........................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
      A. Latar Belakang   ..................................................................................
      B. Rumusan Masalah  ..............................................................................
      C. Tujuan   ................................................................................................
BAB II
      A. Pengertian Ijma’........................................................................
      B. Syarat-syarat dan Ijma’............................................................................
     C. Dasar Hukum Ijma’..............................................................
      D. Macam-macam Ijma’
      E. Pengertian Qiyas
      F. Hukum Qiyas
      G. Rukun dan Syarat Qiyas
      H.  Macam-Macam Qiyas
      I. Batasan Ijma Dan Qiyas
BAB III
 Penutup
     A. Kesimpulan  ........................................................................................
  Daftar  Pustaka 


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ dan qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
           
            B. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dari ijma’ dan qiyas ?
b. Apa saja syarat-syarat ijma’ dan qiyas ?
c. Sebutkan macam-macam ijma’ dan qiyas ?
d. Apa saja dasar hukum Ijma dan qiyas menurut pandangan ulama’ ?

C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar penulis dan pembaca khususnya teman-teman mahasiswa Stainu Jakarta dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti ijma’ dan qiyas yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.





BAB II
PEMBAHASAN
IJMA’ DAN QIYAS
  A. Pengertian Ijma’
            Kata ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang suatu masalah. Kata ijma’ merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata أجمع yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu.[1]
Secara etimologi ada dua macam, yaitu:
1.      Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalam surat                                   Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ
            Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar        sumur (lalu mereka masukkan dia ” (Q.S. Yusuf: 15).
2.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.   Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 71:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُم
                                                                                                                                                Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu      (untuk membinasakanku.” (Q.S. Yunus: 71).
            Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan ‘’Kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang atas suatu urusan agama”. Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat islam.[2]

            Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.[3]
            Menurut Abul Hasan al-Bashri yaitu persetujuan dari satu kelompok (jama’ah) mengenai suatu masalah tertentu melalui tindakan atau penghindaran tindakan.[4]
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ‘ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat ummat islam.[5]
            Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW  tentang suatu masalah hukum islam. Menurut defenisi ini, rujukan kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang awam dari lingkup ijma. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid pada waktu terjadinya  suatu peristiwa. Oleh karena itu,tidak diperhitungkan sebagai ijma apabila seorang mujtahid  atau sejumlah mujtahid baru muncul setelah terjadinya peristiwa itu. Jadi ijma hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena selama masih hidup, nabi sendirilah yang memegang otoritas tertinggi  atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain tidak mempengaruhi otoritasnya.[6]
            Menurut imam Al- syafi’I, pada pokoknya ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahl al- ‘ilm tentang suatu hukum syariah. Ahl al- ‘ilm yang dimaksudkannya ialah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta keputusannya diterima oleh penduduk di suatu negeri.[7]
            Menurut KH. Said Aqil siradj saat memberikan ceramah dalam acara imtihan di Ponpes Nurul Qarnain, Desa Baletbaru, Kec. Sukwono, Kab. Jember mengatakan jangan ikut-ikutan menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits seraya menafikan ijma’ ulama dan kitab fiqh. Sebab,  semua persoalan syariah didasarkan hanya kepada Al-Qur’an dan hadits, akan membingungkan masyarakat lantaran banyak ibadah yang dasarnya adalah ijma’ ulama. Karna di dalam Al-qur'an hukum nya secara global. Di mana kita menemukan tata cara sholat yang sempurna, itu ada dalam kitab fiqh, ada di keterangan para ulama dan sebagainya .


B. Syarat-syarat dan Ijma’
            Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.       Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an
5.      Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis Rasulullah SAW.[8]

C. Dasar Hukum Ijma’
                Jumhur ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa ijma’ sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai landasan dari nash atau qiyas. Apabila ijma’ tidak punya landasan, maka ijma’ tersebut tidak sah.  Jumhur ulama’ berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama’ menempatkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan sunnah.[9]
Menurut jumhur ulama’, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti didasarkan atas dalil-dalil berikut:
Q.S An-Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: ‘’Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri diantara kamu.’’
            Sebagian ulama’ tafsir, terutama Ibnu Abbas telah menafsiri ulil amri dengan ulama’. Ulama’ tafsir lainnya    menafsiri ulil amri dengan para pemimpin (umara’) dan penguasa (wulat). Yang jelas tafsirnya meliputi semuanya, dan juga meliputi keharusan taat kepada setiap kelompok (dari kelompok yang telah dijadikan objek dalam tafsir) mengenai hal-hal yang seharusnya ditaati. Apabila ulil amri, yakni para mujtahid telah mengadakan ijma’ atas suatu hukum, maka wajib diikuti dan dilaksanakan hukum mereka berdasarkan nash Al-Qur’an.[10]
            Al- Syafi’I menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas, pada semua bidang". Seperti yang pernah dikatakannya bahwa ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karna ijma’ itu tidak mungkin salah. Sesuatu yang telah disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan dalil kitab atau sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata- mata bersumber dari ra’yu (pendapat), karena ra’yu akan selalu berbeda- beda.
             Secara berhati- hati, al- Syafi’I menegaskan bahwa "ijma’ yang tidak didukung oleh hadis, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadis".  Jadi dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat hadis, tentu ada di antara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW atau sepakat atas sesuatu yang salah.[11]




Untuk menegakkan ke- hujjah- an ijma itu, al- syafi’I mengemukakan ayat,Q. S. Al- Nisa’: 115.
Allah berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebena ran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”.
Ayat ini  menyatakan ancaman terhadap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin. Menurut al- syafi’I, orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain jalan rosulullah SAW. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena itu ijma’ adalah hujjah.[12]
   
D. Macam-macam Ijma’
            Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).[13]
            Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.[14]
            Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
            Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini.
            Menurut Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.
            Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
            Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.[15]

E. Pengertian Qiyas
            Qiyas secara bahasa adalah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.[16]
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash.
Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.[17]
Menurut Al-Ghazali "Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.[18]

F. Hukum Qiyas
            Sekalipun tidak terdapat otoritas yang jelas bagi qiyas didalam al- qur’an tetapi ulama- ulama dari mazhab sunni telah mengesahkan qiyas dan mengutip berbagai ayat Qur’an untuk mendukung pendapat mereka. Oleh karena itu, rujukanah surah al- Nisa (4: 59)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِمِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya".     

            Al-Qur’an memberikan indikasi- indikasi yang jelas yang meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam nas, maka qiyas harus digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan umum dari pemberi hukum. Karena itu dapat disimpulkan bahwa indikasi alasan- alasan, tujuan, kesamaan dan perbedaan- perbedaan adalah tidak berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman dalam menentukan hukum.
Contoh:
  Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan".
Dalam hadits nabi disebutkan :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ, وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Artinya : ‘’Setiap yang memabukkan adalah khomr, dan setiap khomr adalah haram’’.

 Nah, yang menjadikan narkotika haram adalah :
  • Hukum asalnya adala khomr
  • Hukum cabangnya adlah narkotika
  • Yang menjadi hukum asal adalah haram berdasarkan nash dari al-Qur’an dan Al-hadits.
  • Yang menjadi illat (alasan)nya adalah keduanya sama-sama dapat memabukkan. Jadi, faktor yang diharamkannya narkotika adalah karena memabukkan.[19]

            Dari sahabat Mu’adz berkata; ‘’tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya’’.[20]

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ
 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”.




G. Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun Qiyas, yaitu:
1.      Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2.      Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.      Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.      'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Syarat-syarat qiyas sebagai berikut:
a.    Adanya semua ahli ijtihad ketika terjadinya suatu kejadian, karena kebulatan pendapat tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pendapat yang masing- masing terdapat persesuaian.
b.    Kebulatan pendapat ahli ijtihad itu diiringi dengan pendapat- pendapat mereka masing- masing secara jelas mengenai kejadian, baik yang dikemukakan secara qauli (perkataan), maupun secara fi’li (perbuatan). Secara qauli misalnya memberikan fatwa tentang suatu kejadian, sedangkan secara fi’li, misalnya menetapkan keputusan tentang suatu kejadian atau mengemukakan secara
c.   pribadi dan setelah pendapat- pendapat mereka terkumpul tampak melahirkan kebulatan pendapat sepakat atau menampilkan pendapatnya secara kelompok, maka terdapatlah ijma’.
d.      Kesepakatan para ahli ijtihad itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, apabila sebagian para ahli ijtihad telah mengadakan kesepakatan. Dan adakalanya ijma’ itu tidak  dapat ditetapkan dengan jumlah kesepakatan mayoritas, manakala jumlah yang tidak sependapat itu minoritas dan jumlah yang sepakat mayoritas. dengan demikian berarti masih ada perbedaan pendapat yang mungkin salah pada satu pihak, dan benar dipihak lain.maka kebulatan pendapat dari mayoritas tidak dapat dijadikan hujjah secara pasti yang kuat.
Dari segi cara terjadinya, ijma dibagi ke dalam dua jenis:
1.       Ijma eksplisit (al- ijma al- sarih), dimana setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun perbuatan.
2.       Ijma diam- diam (al- ijma al- sukuti), dimana beberapa mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat tentang suatu peritiwa sementara yang lain tetap diam.[21]
H.  Macam-Macam Qiyas
a.       Qiyas aula
            Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan    mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih),    misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b.      Qiyas musaw’ i
            Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang terdapat pada mulhaq    nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan harta
c.       Qiyas dalalah
            Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak    mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta      orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
d.      Qiyas syibhi
            Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi         diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan         mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.




 I. Batasan Ijma Dan Qiyas
1.       Menurut Al-Syafi’I ijma’ hanya terjadi pada masalah-masalah yang bersifat ma’lum minaddin biddoruroh dalam arti masalah-masalah yang harus diketahui oleh seluruh lapisan umat islam. Seperti masalah kewajiban sholat.
2.       Adapun qiyas hanya terjadi pada masalah- masalah furu’iyyah seperti masalah Pemukulan terhadap orang tua. Sementara itu Al- Ghazali mengemukakan semacam perbedaan antara mu’amalat dan ibadat; bahwa dalam mu’amalat maslahat selalu dapat ditangkap, sedangkan bidang ibadat umumnya bersifat tahakkum (semata- mata diatur atas kehendak Allah), dan hikmah (luthf) yang dikandungnya tidak mudah ditangkap. Itulah sebabnya, Al- Syafi’I menahan diri, tidak melakukan qiyas pada bidang ibadat, kecuali bila maknanya benar- benar nyata.[22]




















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di tulis, dapat di simpulkan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu hukum yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nash (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum.
Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.
  

  





 
Daftar Pustaka
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media 2005.
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Ahmad Hasan,  Ijma’, Bandung: Pustaka, 1985.
Hashim Kamali, Muhamma, Prinsip Dan Teori- Teori Hukum Islam, Yogyakarta: pustaka                 pelajar offset, 1996.
Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Wahab Khallaf, Abdul,  Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), Jakarta: Raja    Grafindo Persada, 1994.
Hashim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: pustaka            pelajar offset, 1996.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Abdullah, Sulaiman, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta; pedoman        ilmu jaya, 1996.
Nuril Hudah, Ahmad. Sumber Hukum Dalam Aswaja,  http://www.nu.or.id/post/read/9215/4-      sumber-hukum-dalam-aswaja, (Di akses 27 november 2016).
Rifai, Muhammad, Ushul Fiqih, Semarang; Wicaksana, 1998.
Nasution, Lahmunuddin, Pembaharuan Hukum Islam, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2001.



[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media 2005), Hal 125
[2] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet. Ke-II, h. 73-74.
[3] Ibid.
[4] Ahmad Hasan,  Ijma’, (Bandung: Pustaka, 1985),  hal 82.
[5] Ibid.
[6]  Muhammad Hashim Kamali, Prinsip Dan Teori- Teori Hukum Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 1996), hal. 219- 220.
[7] Ibid.

[8] Ibid., h.78.
[9] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010),  hal. 148.
[10] Abdul Wahab Khallaf,  Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 67.
[11] Muhammad hasyim kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, (yoyakarta; pustaka pelajar offset, 1996), hal. 53.
[12] Ibid.
[13] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005),  Ed. 1. Cet I, h. 129.
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) , Cet 1, h.135.
[15] Ibid.
[16] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet II , h. 93.
[17] Sulaiman  Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta; pedoman ilmu jaya,1996), hal. 99-102.

[18] Abdul Wahhab Khallaf,  Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 71.
[19] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar          offset, 1996), h.53.

[20] KH. A Nuril Hudah,  Sumber Hukum Dalam Aswaja,  http://www.nu.or.id/post/read/9215/4-sumber-hukum-dalam-aswaja, (diakses 27 november 2016).
[21] Drs. H. moh. Rifai, Ushul Fiqih, (Semarang; Wicaksana, 1998), hal. 47-48.
[22] DR. Lahmunuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,  2001), Hal. 56.


Komentar

  1. Mas apakah segitu panjangnya membuat makalah itu, ..Sedangkan saya masih belum paham ,karena baru masuk kuliah dan gak ngerti apapun

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ushul Fiqh: pengertian amar dan nahi

Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat