Makalah : Fiqih Muamalah Ju’alah ( Pemberian Upah )
MAKALAH
Fiqih
Muamalah
Ju’alah ( Pemberian Upah )
Dosen pengampu : Ahmad Ali
.MD.M.A
Di susun
oleh :
Irgi Nur
Fadil
Prasetya Aji
Pangestu
Muhamad
Yunus
Semester 1
(satu)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena alhamdulilah dengan limpahan karunia dan nikmat-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan pada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW, kepada para
sahabatnya, keluarga, serta sampai kepada kita semua umat-nya.
Makalah berjudul “Ju’alah” ini saya
buat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Fiqih Muamalah. Dan semoga,
selain memenuhi tugas tersebut makalah ini dapat bermanfaat umumnya bagi
khalayak pembaca dan khususnya untuk kami selaku penulis.
Dalam kesempatan ini pemakalah
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing, motivasi serta
dorongan, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Pemakalah menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini belum sempurna. Maka kami mohon kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna menyempurnakan pembuatan makalah ini. Atas perhatiannya
kami mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 14 November 2016
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai
agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang
segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya
menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya
sebagai khalifatullah di bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang
bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis
untuk menggali semua potensi yang telah di berikan oleh Allah. Guna untuk memanfaatkan potensi alam secara
maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya
yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya
untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya.
Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam
segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala
hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih muamalah. Dalam
hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa ada salah satu akad
yaitu ju’alah.
Akad ju’alah
identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti
dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat
hadiah atau upah. Secara harfiah ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk
dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih
dalam lagi membahas akad ju’alah yang telah ada sejak zaman dahulu ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan ju’alah?
2. Apa
saja syarat ju’alah?
3. Apa
rukun ju’alah ?
4. Apa
saja yang membatalkan ju’alah
5. Bagaimana
bunyi landasan hukum ji’alah?
6. Apa hikmah dari ju’alah ?
7. Bagaimana pandangan MUI tentang Jualah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Jualah
Lafadz “al
ju’alah” itu dengan membaca tiga wajah pada huruf jimnya, -yaitu fathah, kasrah
dan dlammah.
Makna ju’alah secara bahasa adalah sesuatu yang diberikan
pada seseorang atas apa yang telah ia kerjakan.
Dan secara syara’ adalah kesanggupan orang yang mutlak
tasharrufnya untuk memberikan ongkos / ‘iwadl pada orang tertentu ataupun
tidak, atas pekerjaan yang telah diketahui atau belum diketahui secara jelas.
Ju’alah artinya imbalan.[1]
Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang
diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan
suatu pekerjaan tertentu.
Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizaam (tanggung
jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela
terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang
belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”
Contoh:
seseorang berkata : “Siapa saja yang dapat menemukan kucing
saya yang hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh ribu rupiah”.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah : “Suatu upah yang
dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan
oleh seseorang”.
Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang
menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu
kepadanya”.
Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi
ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan.
Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi
ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang
diharapkan. Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Madzhab Hanbali).[2]
Dapat dibedakan dengan Ijaarah (transaksi upah) dari lima
segi :
1. Pada Ju’alah upah atau hadiah yang
dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang
menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil
dengan sempurna. Sedangkan pada Ijaarah, orang yang melaksanakan pekerjaan
tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang
diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya
dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau
bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Pada Ju’alah terdapat unsur
gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya
terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara
dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada Ijaarah, batas waktu penyelesaian
bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad
(perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek pekerjaan itu. Dengan
kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah
keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.
3. Pada Ju’alah tidak dibenarkan
memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya.
Sedangkan dalam Ijaarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik
keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang
memberi upah itu percaya.
4. Tindakan hukum yang dilakukan
dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja
dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum.
Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan disurat
kabar. Sedangkan dalam akad Ijaarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat
semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan,
maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan.
Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
5. Dari segi ruang lingkupnya Madzhab
Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam
transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek dalam transaksi Ijaarah. Namun,
tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dala transaksi Ijaarah, dibenarkan
pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah. Dengan demikian, ruang lingkup Ijaarah
lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah.Berdasarkan kaidah tersebut, maka
pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad
Ijaarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah. Dalam Ijaarah, orang yang
menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan.
Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah
pekerjaannya itu sempurna.
B. SYARAT-SYARAT
JU’ALAH
Agar pelaksanaan Ju’alah sah, maka harus memenuhi
syarat-syarat:
1. Orang yang menjanjikan upah atau
hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh,
berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada
dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan
harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta
yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I
dan Hanbali).
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya
itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum
syara’.
4. Madzhab Maliki dan Syai’i
menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi
dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang.
Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
5. Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa
pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat
dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam
jumlah banyak.[3]
C. RUKUN-RUKUN JU'ALAH
Rukun Ju’alah ada empat, yaitu:
1. Pihak yang membuat
sayembara/penugasan (al-qaid/al-ja’il)
2. Objek akad berupa pekerjaan
yang harus dilakukan (al-maj’ul)
3. Hadiah yanga kan diberikan
(al-ji’l)
4. Ada sighat dari pihak yang
menjanjikan (ijab)[4]
D. PEMBATALAN
Madzhab
Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang, bahwa Ju’alah adalah perbuatan hukum
yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak pertama yang menjanjikan upah
atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan
pembatalan.Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.
Madzhab Maliki berpendapat, bahwa Ju’alah hanya dapat
dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.
Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa pembatalan itu
dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum
selesai dilaiksanakan, karena pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela.
Namun, menurut mereka, apabila pihak pertama membatalkannya, sedangkan pihak
kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan
yang pantas sesuai dengan volume perbuatan yang dilaksanakannya. Kendatipun
pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela, tetapi kebijaksanaan perlu
diperhatikan.[5]
E. DASAR HUKUM
Madzhab
Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan dengan
alasan
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
Firman Allah : “Penyeru-penyeru itu berkata : “kami kehilangan
piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf : 72)
Dalam Hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima
hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang
diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara
membaca surat Al Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah,
karena takut hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda :
“Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah
hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali
An Nasa’i).[6]
F. Hikmah Ju’alah
Ju’alah merupakan
pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah
bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa
materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu
seseorang menghafal al-Qur’an.
G. FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO:
62/DSN-MUI/XII/2007
Dewan
Syari'ah Nasional setelah:
Menimbang
: a. bahwa
salah satu bentuk pelayanan jasa, baik dalam sektor keuangan,
bisnis maupun sektor lainnya, yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah
pelayanan jasa yang pembayaran imbalannya (reward/’iwadh/ju’l)
bergantung pada pencapaian hasil (natijah) yang
telah ditentukan;
b. bahwa agar pelaksanaan pelayanan jasa di atas
sesuai dengan prinsip
syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu
menetapkan
fatwa tentang akad Ju’alah sebagai dasar transaksi
untuk dijadikan
pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip
bermu’amalah, baik yang harus
dilaksanakan
maupun dihindarkan, antara lain :
“Hai orang yang
beriman! Ttunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan
bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Maidah [5]: 1)
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا
بِالْعَدْلِإِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ
أَهْلِهَا وَإِذَا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu
menetapkan
hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil.
Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat“(QS. al-Nisa [4]: 58)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Artinya
:“...Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”(QS. al-Baqarah [2]: 275)
2.
Firman Allah tentang Ju'alah:
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
Artinya:
“Penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala raja; dan siapa
yang
dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan
(seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya" (QS. Yusuf: 72).
3.
Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip
bermu’amalah,
antara lain:
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim
suatu kesulitan di
dunia,
Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat;
dan
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka)
menolong
saudaranya” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah).
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
yang mereka buat
kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang
haram.” (HR.
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
“Setiap amalan itu hanyalah tergantung pada
niatnya. Dan
seseorang
akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang
diniatkannya.”
(HR. Bukhari &
Muslim dari Umar bin Khattab)
4.
Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri:
“Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah
satu kampung orang
Arab.
Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada
mereka.
Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu
bertanya
kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau
adakah
yang dapat me-ruqyah
(menjampi)?’ Para sahabat menjawab:
’Kalian
tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian
memberi
imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan
memberikan
sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat
al-Fatihah
dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke
kepala
kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan
kambing.
Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini
sampai
kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya
kepada
beliau. Beliau tertawa dan bersabda, 'Lho, kalian kok tahu bahwa
surat
al-Fatihah adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah
saya
bagian.'" (HR.
Bukhari).
5.
Kaidah fiqh yang menegaskan:
“Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh
dilakukan kecuali ada
dalil
yang mengharamkannya.”
Memperhatikan
: 1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/323 :
“Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah;
sebab pekerjaan
(untuk
mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya),
seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan
hilang,
dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan
akad ijarah
(sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar
kedua
barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu, ia tidak
menemukan
orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka
rela
(tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong
agar
akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk
dan
masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.”
6.
Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,
XV/449
:
“Boleh melakukan akad Ju’alah, yaitu komitmen
(seseorang) untuk
memberikan
imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu
yang
sulit diketahui.”
7.
Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II/24 :
“Ju’alah boleh dilakukan oleh dua
pihak, pihak ja’il (pihak pertama yang
menyatakan
kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan
pihak
maj’ul lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang
diperlukan
pihak pertama)…, (Ju’alah) adalah komitmen orang yang cakap
hukum
untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau
tidak
tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu.”
4.
Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional MUI pada Kamis, 26 Zul Qa’dah 1428
H/06 Desember 2007 M.
MEMUTUSKAN Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD JU’ALAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Ju’alah adalah janji atau
komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh//ju’l)
tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan.
2. Ja’il adalah pihak yang
berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah)
yang ditentukan.
3. Maj’ul lah adalah pihak
yang melaksanakan Ju’alah.
Kedua : Ketentuan Akad
Akad
Ju’alah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan jasa
sebagaimana
dimaksud dalam konsideran di atas dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Pihak Ja’il harus memiliki kecakapan hukum
dan kewenangan (muthlaqal-tasharruf) untuk melakukan akad.
2. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus
berupa pekerjaan yang tidak dilarang
oleh syari’ah.
3. Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana
dimaksud harus jelas dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran;
4. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l)
harus ditentukan besarannya oleh Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran
5. Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka
(sebelum pelaksanaan
objek
Ju’alah)
Ketiga : Ketentuan
Hukum
1. Imbalan Ju’alah hanya berhak diterima oleh pihak maj’ul
lahu apabila hasil dari pekerjaan tersebut terpenuhi.
2. Pihak Ja’il harus memenuhi imbalan yang
diperjanjikannya jika pihak maj’ul lah menyelesaikan (memenuhi) prestasi
(hasil pekerjaan/natijah) yang ditawarkan.
Keempat : Ketentuan
Penutup
1. Jika terjadi perselisihan (persengketaan) di antara
para pihak, dan tidak
tercapai kesepakatan di antara mereka maka
penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional atau melalui
Pengadilan Agama.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada beberapa madzhab ulama seperti: Madzhab
Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan, dan ada
pula yang mengharamkan Ju’alah karena mengandung unsur Gharar. Dengan
pembahasan diatas kita dapat mengetahui seperti apakah Ju’alah itu, dan apa
saja yang menyebabkan boleh atau tidak diperbolehkannya Ju’alah.
Wallahu a’lam bis shawab.
Daftar Pustaka
Syeh Syamsudin Abu Abdilah
,Terjemah Fathul Qorib ,(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), terj; Abu H.F Ramadhan
B.A
Saifulloh Al-Aziz. S., Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit
Terang, 2005),
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Muamalah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010),
[1] Syeh Syamsudin Abu Abdilah
,Terjemah Fathul Qorib ,(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), terj; Abu H.F Ramadhan
B.A, hal.211
[2] Mardabi, Fiqih Ekonomi
Syariah; Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 314
[3] Saifulloh Al-Aziz. S.,
Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005), hlm. 382
[4] Abdul Rahman Ghazaly,
Fikih Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 143
[5] Abdul Rahman Ghazaly,
Fikih Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm. 143
Komentar
Posting Komentar