Hukum Rokok Dan kopi
Rokok dan kopi bagaikan sebuah satu kesatuan dimana disitu
ada kopi pasti selalu bersanding dengan rokok, entah karena penikmatnya yang
memang pecinta kopi dan rokok atau karena kopi dan rokok adalah satu rangkaian
molekul yang tak dapat dipisahkan seperti air laut dengan rasa asinnya itu,
atau seperti gula dengan rasa manisnya dan juga garam dengan rasa asinnya
begitu juga dengan asam dengan rasa kecutnya. Tak sedikit orang kita jumpai di
tepi jalan atau kedai kopi bahkan di rumahpun juga seperti itu, ketika tengah
melakukan ritual menghisap rokok pasti tak lupa terdapat kopi yang selalu setia
menemani di atas cangkir mungil penuh kehangatan di pagi hari.
Kopi dan rokok selalu bersama dalam banyak hal, ketika
mengobrol dengan seseorang atau ber ramai- ramaipun kopi masih menjadi rekan
favorit dimanapun itu, tak pandang dari si miskin atau si kaya, menikmati kopi
dan rokok secara bersamaan. Begitulah kopi dan rokok layaknya suami istri yang
tak pernah ingin terpisahkan oleh hantaman badai sekeras apapun.
Beberapa orang mengatakan kenikmatan kopi dan rokok itu dapat
diraih secara perlahan, maka darisanalahakan tercipta ketenangan yang luar
biasa. Selagi menikmati kopi, juga tidak dapat dilakukan secara terburu-buru
karena dikhawatirkan ekspektasi pemaknaan dan penafsiran dari sensasi kopi dan
rokok tidak dapat dijabarkan secara menyeluruh, maka dari itu butuh penciptaan
rasa yang tinggi saat penikmat kopi dan rokok tengah merasakan terbang bersama
hisapan rokok dan seruputan kopinya.
Bila kita membicarakan rokok dan kopi dalam dunia pesantren,
biasanya dipersandingkan secara integral dalam karya Syaikh Ihsan Jampes.
Seakan-akan keduanya tak bisa dipisahkan. Jika diibaratkan, keduanya seperti
rasa asin air laut. Memisahkan kopi dari rokok seperti memisahkan rasa asin
dari air laut. Di dunia pesantren, kopi dan rokok bukanlah suatu hal yang
asing. Seakan-akan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging.
Mayoritas kyai-kyai di pesantren pasti peminum kopi dan
perokok sejati. Jika ada peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka para santrinya pun mayoritas
adalah peminum kopi dan perokok sejati. Sangat jarang –jika tak mau dibilang sulit– ada seorang kyai dan santri dalam
kultur pesantren yang tidak menjadi peminum kopi dan perokok.
Syaikh Ihsan Jampes adalah tipikal intelektual pesantren.
Ciri-cirinya seperti selalu mengutip pendapat-pendapat ulama klasik. Bahkan
dalam karya beliau Irsyadul Ikhwan, nyaris tak ada kutipan ayat Qur’an dan Hadis Nabi. Paling hanya ada
1-3 dari masing-masing ayat Qur’an dan Hadis Nabi yang dikutip dalam karyanya ini. Itupun tak
terkait langsung dengan persoalan kopi dan rokok.
Mengapa seperti itu? Karena tak ada, baik dalam Qur’an maupun Hadis, yang menjelaskan
tentang posisi hukum kopi dan rokok. Posisi hukumnya hanya didapat dari
pendapat-pendapat/ijtihad para ulama saja, itupun bersifat ikhtilaf (terdapat
perbedaan pendapat). Posisi hukum mengopi dan merokok tidaklah tunggal, ada
yang berpendapat haram, halal, mubah, makruh bahkan bermanfaat. Itu terjadi
karena ada pra kondisi dalam kasus merokok dan mengopi. Jika pra-kondisinya
membuat mengopi dan merokok haram, maka hukumnya haram. Sebaliknya jika
pra-kondisinya membuat mengopi dan merokok halal, maka hukumnya halal.
Begitupun seterusnya.
Keunggulan karya Syaikh Ihsan Jampes ini karena beliau
berhasil memposisikan kopi dan rokok secara netral, posisi hukumnya tergantung
siapa yang melihat dan menilai. Itu karena posisi hukum mengopi dan merokok
terjadi ikhtilaf dikalangan ulama. Jumhur ulama mayoritas berpendapat hukum
mengopi dan merokok mubah. Menjadi haram dikonsumsi jika tubuh seseorang akan
mendapat mudharat atau kesadarannya menjadi hilang karena mengkonsumsinya
(Irsyadul Ikhwan h.21 dan h.62-63).
Dari sinilah nampaknya, mengapa dalam kultur pesantren, baik
kyai atau santrinya mengkonsumsi kopi dan rokok, karena haram mengkonsumsinya
diarahkan hanya bagi yang jasadnya terkena kemudharatan yang karenanya
kesadaran menjadi hilang. Sementara bagi mereka (kyai maupun santri) mengopi
dan merokok dirasa memberi manfaat, misalnya, untuk menyegarkan pikiran,
melegakan pernapasan dan meminimalisir tekanan psikis akibat terlalu banyak
menelaah kitab-kitab kuning.
Adapun ulama yang menyatakan haramnya kopi biasanya melihat
bahwa didalam kopi terdapat suatu mudharat (bahaya) tertentu (Irsyadul Ikhwan
h.20). Kopi berbahaya bagi mereka yang mengidap penyakit empedu, penyakit
kuning, apalagi yang komplikasi dengan penyakit darah tinggi. Adapun khasiat
kopi yang membawa kebaikan, yaitu:
(1) Kopi
dapat bermanfaat untuk membangkitkan kekuatan otak dan meningkatkan kerja
pikiran.
(2) Kopi
dapat mengurangi tidur.
(3) Kopi
memiliki pengaruh terhadap otot-otot dan urat saraf sehingga aliran darah
didalamnya menjadi lancar (Irsyadul Ikhwan h. 27).
Sementara ulama yang menyatakan haramnya rokok menganggap
bahwa:
(1) Rokok
dapat membahayakan kesehatan.
(2) Rokok
dapat memabukan dan melemahkan tubuh.
(3) Karena
bau rokok/perokok tidak disenangi sehingga dapat menyakitkan hati seseorang.
(4) Merokok
dianggap suatu pemborosan dan cermin sifat berlebih (Irsyadul Ikhwan h.48-49).
Sebaliknya ulama yang menghalalkannya beralasan, antara lain:
(1)
Membangkitkan kinerja syaraf.
(2)
Mengurangi lemak tubuh.
(3) Membunuh
beberapa jenis mikroba (Irsyadul Ikhwan h. 50).
(4) Untuk
menghilangkan serak (Irsyadul Ikhwan h. 58).
(5)
Membangkitkan seseorang dari kelesuan.
Bantahan-bantahan ulama pendukung rokok terhadap ulama-ulama
yang mengharamkannya:
(1) Merokok
tidak sama sekali menghilangkan kesadaran.
(2) Jika
rokok haram karena membawa mudharat, maka keharamannya disebabkan oleh
mudharatnya, suatu unsur luar yang datang (Irsyadul Ikhwan h. 57).
(3) Rokok
menjadi haram jika dapat melalaikan seseorang dari, misalnya, memberi nafkah
terhadap orang-orang yang wajib dinafkahi (Irsyadul Ikhwan h. 67). Atau dapat
melalaikan seseorang dari melakukan ibadah fardhu lainnya.
(4) Hukum
haram juga bisa ada jika perokok membeli dengan harta yang dibutuhkan untuk
nafkah keluarga (Irsyadul Ikhwan h. 77). Rokok haram jika bagi insan yang
terbahayakan baik badan maupun bukan, imam al-Ghazali berpendapat madu pun bisa
haram jika bagi orang yang darahnya panas (Irsyadul Ikhwan h. 80).
Komentar
Posting Komentar