Sejarah Qawa’id Fiqihiyyah
Sejarah
Qawa’id Fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu ada masa Rasulullah Saw, masa Sahabat, dan masa
Tabi’in. Pada masa-masa ini keberadaan sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya
yang bersumber dalam Al-Quran maupun
keterangan-keterangan Rasulullah
Saw yang dikenal dengan Sunnah. Konteks keilmuan secara umum pada abad-abad pertama belum memiliki
sistematika dan metodologi khusus. Hal ini disebabkan
segala persoalan yang dihadapai ketika itu dijelaskan
secara langsung oleh Rasulullah Saw Akibatnya ijtihad yang
masih berada diantara
benar atau salah
tidak diperlukan. Akan
tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak masa Nabi.[1]
Beliau adalah
penjelas utama dari
kandungan ayat-ayat al-Quran
dalam menghadapi problematika kehidupan
yang memerlukan hukum baru. Di sisi lain, Rasululah akan menggali
hukum dengan beristinbat
terhadap ayat-ayat al-Quran
apabila keterangannya masih global. Prosesnya inilah
yang selanjutnya melahirkan
proses pembentukan hukum-hukum
Islam termasuk Qawaid
Fiqhiyyah. Atas Keterangan di atas dapat dipahami bahwa
keberadaan Qawaid fiqhiyyah pada periode awal masih dalam tunas
perkembangan. Pada proses munculnya
Qawaid Fiqhiyyah dapat
dikelompokan dalam tiga
periode
B. Periode Rosulullah SAW
Pada periode
Rasulullah Saw, otoritas tertinggi dalam
pengambilan hukum dipegang oleh Rasulullah Saw. Semua persoalan yang ada
di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh al-Qur’an dan hadis
Nabi. Fiqh pada masa itu digunakan untuk menunjukan segala sesuatu yang
dipahami dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, baik persoalan akidah maupun hukum
dan adab. Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum islam) merupakan
embrio kelahiran Qawa’id Fiqhiyyah. Rasulullah Saw menyampaikan hadits-hadits
yang singkat dan padat. Hadist –hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh
yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Rasulullah Saw di samping
sebagai sumber hukum, juga sebagai Qawa’aid Fiqhiyyah.
Setelah
menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat)
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan
mengacaukan akal (adalah) haram. Rasul
tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan
atau minuman. Ini adalah ketetapan Rasulullah Saw, yaitu hukum meminum minuman
yang memabukkan adalah haram. Setelah
wafatnya Rasulullah Saw kemudian dialanjutkan oleh para sahabat, tabi’in dan
iman mujahidin.
Kumpulan-kumpulan
kaidah dalam Qawaid Fiqiyah tidaklah terbentuk dan terkumpul dengan sekaligus seperi
halnya kitab undang-undang hukum positif, yang di bentuk dengan sekaligus oleh
para ahli hukum, akan tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit secara
berangsur-angsur, sehingga terkumpul menjadi banyak. Rumusan-rumusan kaedah
tersebut adalah hasil pembahasan yang dilakukan oleh para fuqha besar ahli
takhrij dan tarjih dengan mengistimbatkan dari nash- nash syariah yang bersipat
kuli, dasar-dasar ushul fiqh , ilat-ilat hukum dan buah pikiran mereka.
Pada umumnya
sulit untuk diketahui siapa penulis pertama dari tiap-tiap kaedah. Yang dapat
diketahui dengan mudah penulis pertamanya ialah kaedah yang berbunyi “ perumusan kaedah ini berasal dari hadis”.
atau kaedah yang berasal dari pendapat Iman Abu Yusuf dalam kitabnya al kharaj
yang dipersembahkan kepada Raja Harun Arrasyid yang berbunyi “tidak ada
wewenang bagi imam untuk mengmbil sesuatu dari seseorang kecuali dengan
dasar-dasar hukum yang berlaku”
Kemudian Abu
Saad Al-Harawi, seorang ulama
mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir
dan mencatat kaidah fiqih
yang dihafalkan oleh Abu Thahir.
Setelah kurang lebih seratus tahun
kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu
Thahir menjadi 37 kaidah. Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah
fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan
masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya bertambah beriringan
meluasnya wilayah kekuasaan
kaum muslim. Maka
para Ulama membutuhkan metode
yang mudah untuk
menyelesaikan masalah kemudian muncullah kaidah-kaidah
fiqih. Dalam buku
kaidah-kaidah fiqih karangan. Prof.H.A. Djazuli digambarkan
bahwa skema pembentukan
kaidah fiqih adalah
sebagai berikut[2]:
1.
Sumber hukum Islam al-Quran dan Hadis
2.
Kemudian muncul Ushul Fiqih sebagai metodologi
di dalam penarikan hukum.
3.
Dengan metodologi Ushul Fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih
4.
Fiqih ini banyak materinya. Dari materi
fiqih yang banyak itu kemudian oleh
ulama-ulama diteliti persamaaanya
dengan menggunakan pola pikkir induktif, kemudian dikelompokan
dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah fiqih.
5.
Selanjunya kaidah-kaidah fiqih
tadi dikritisi kembali dengan menggunakan
banyak ayat dan hadis terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan
substansi ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi
6.
Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi, kaidah fiqih itu akan menjadi
kaidah fiqih yang mapan
7.
Setelah itu, kaidah ini diterapkan untuk menjawab tantangan perkembangan
masyarakat dalam segala bidang dan akhirnya memunculkan fiqih-fiqih baru;
8.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama memberi fatwa terutama di
dalam hal-hal baru.
C. Perkembangan Qawa’id Fiqhiyyah
Awal mula
Qawaid Fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika
kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena
saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap
terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab. dan ulama pada saat itu merasa puas
dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh
dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi
diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan
lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab
itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru. Berkaitan dengan
ini, Ibnu Khaldun berkata dalam Muqaddimahnya:
“ketika
madzhab-madzhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan
tidak ada kesampatan untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan metode qiyas, maka mereka hanya menyamakan
persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh pendiri dan pemuka madzhab,
baru mereka membahas masalah-masalah itu bedasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh madzhab”.Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan menggunakan
metode seperti ini rupanya menyebabkan fiqh menjadi semakin berkembang pada
saat itu, cakupan wilayahnya menjadi luas dan mampu menjawab seluruh persoalanya.
Perkembangan
Qawaid Al-Fiqhiyyah terjadi pada masa tabi’in. Pada periode ini adalah
masa awal perkembangan fiqh karena pada masa inilah dimulai pendasaran terhadap
ilmu fiqih. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ada masa pendasaran ini adalah awal dari
kecenderungan fiqih untuk berada pada wilayah teori. Hal ini berbeda dengan masa Khulafa
al-Rasyidin yang menjadikan fiqih berada dalam wilayah praktek sebagaimana yang ada pada masa Nabi.
Dengan masuknya fiqih pada wilayah teori, banyak hukum fiqih yang di produksi
oleh proses penalaran terhadap teori
di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang
pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus
baru. Sehingga, fiqih tidak
hanya mampuh menjelaskan
persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual)
namun lebih dari itu.
Disamping itu juga, periode ini
merupakan awal perubahan
fiqih dari sifatnya yang
waqi’iyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).
Setelah melewati
masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang
diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana
yang telah kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang
sangat signifikan, dari
menulis, pembukuan, hingga
penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H.
Agar ilmu
manusia tentang Qawaid Fiqiyah ini dapat diambil manfaat pada generasi
selanjutnya maka timbullah pikiran para ulama untuk membukukannya. Usaha
semacam ini terdapat diberbagai mazhab terutama 4 mazhab[3]:
- Dikalangan
fuqaha Hanafiyah diantara mereka yang menyusun kitab qawaid al-fiqiyyah
ialah:
a)
Abu Thahir Addibas, seorang faqih yang hidup pada abat ke-3 dan ke-4 Hijriah ia
adalah yang pertama kali mengumpulkan Kaidah Fiqiyyah, beliau mengumpulkan
Kaedah Fiqiyah sebanyak 17 kaedah
b)
Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin Addabusy Al-Hanafiy, yang hidup pada
abad ke-5 Hijriah, menyusun kitab “Ta’tisun Nadhar”. Kitab ini memuat
sekumpulan kaidah-kaidah kulliah yang disertai dengan perincian-periciannya.
c) Pada abad
ke-10, Zainudin Abidin Ibn Ibrahim Al-Misry, menyusun sebuah kitab qawaid yang
berjudul “Al-asybahu Wan Nadhair”.salah
satu kaedah dari buku beliau”adat itu
bisa ditetapkan sebagai hukum” dan “kesukaran itu menarik kemudahan”
- Dari
kalangan Malikiyah diantara fuqaha yang menyusun kitab qawaid fikiyyah
pada mazhab ini adalah:
a)
Imam Juzaim,telah menyusun sebuah kitab yang diberi nama dengan”Al- Qawaid”
b) Syihabuddin
Abil Abbas Ahmad Ibn Idris Al Qarafy, dari fiqaha abad ke-7 Hijriah ( 684 H)
telah menyusun kitab “Anwarul Furuq Fi
Anwaril Furuq” yang mana kitab ini menjelaskan tentang perbedaan antara
kaedah yang satu dengan kaedah yang lain yang berhubungan dengan furu’.
- Dari
kalangan fukaha Syafi’iyyah diantara mereka yang menyusun kitab qawaid
ialah
a)
Imam Muhammad Izzudin Ibn Idrissalam, seorang faqih yang hidup pada abad ke-7
Hijriah (670 H) telah menyusun sebuah kitab qawaid yang diberi nama dengan “Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam”.dalam kitab ini beliau
menjelaskan maksud syara’ dalam mentasyrikkan hukum dengan mengembalikan kepada
kaidah pokok.
b)
Imam Tajudin As Subky seorang faqih yang hidup dari tahun 849 samapai
dengan 911 H dengan sebuah kitab yang
berjudul “Al Asybahu Wan Nadhair ”
kemudian disempurnahkan oleh imam Jalalludin Abdirahman Abi Bakr As Sayuty
,kitab ini memuat sebagian besar kaedah-kaedah fiqiyah menurut mazhab
Syafi’yyah.
- Dari
kalangan fuqaha Hambaliyah diantara mereka yang menyusun kitab qawaid
ialah:
a)
Najmudin AT-thufy, seorang faqih yang wafat pada tahun 717 H, beliau menyusun
kitab yang berjudul “Al Qawa’idul Kubra”
dan “Al Qaea’idul Shugra”.
b)
Imam Abdur Rahman Ibn Rajab menyusun sebuah kitab yang berjudul “Al Qawa’id” pada kitab tersebut
disebutkan sesuatu kaidah lalu diterangkan cabang-cabangnya dan diterangkan
khilaf yang terjadi dalam furu’.
D. Masa Penyempurnaan Qawaid Fiqhiyyah
Penyempurnaan
qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Periode ini
ditandai dengan munculnya kitab
Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab
fiqih yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam
menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi
Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H
Pengkodifikasian
Qawa’id Fiqhiyyah mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis
Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad 13 H. Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu. Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang
ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap
kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada
kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah
mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam
bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam
al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan
menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hukum fiqh.[4]
Komentar
Posting Komentar