SOAL G30S/PKI-TENTARA, MARI BELAJAR KE TOKOH BANSER ALMAGHFURLAH MOHAMMAD ZAINUDDIN KAYUBI (1926-1983)
Mohammad Zainuddin Kayubi adalah pendiri Banser (Barisan Ansor Serba-Guna) yang berada di bawah naungan Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU). Pegawai Urusan Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar ini pernah aktif sebagai politisi Partai NU di tahun 1950-an dan Sekretaris Pengurus Cabang NU Blitar.
Lahir di Desa Pengkol, Kecamatan Sumoroto, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada 1 Januari 1926. Ayahnya seorang petani biasa. Kakeknya dari jalur ayah adalah seorang lurah yang disegani di kampungnya. Sementara kakek dari jalur ibu pernah menjabat sebagai wedono. Sejak kecil beliau mengenyam pendidikan di Sekolah Ongko Loro Brotonegaran hingga tamat di kelas enam pada tahun 1941. Tidak semua anak desa bisa mencapai tingkatan itu. Sebab pada jaman penjajahan Belanda pendidikan untuk anak pribumi sangat dibatasi. Di wilayah kecamatan Sumoroto saja, hanya dua anak yang bisa tamat sampai kelas enam Sekolah Ongko Loro – dan Kayubi adalah salah satunya.
Setelah itu Kayubi nyantri di Pesantren Waung, Baron, Nganjuk. Enam tahun beliau menimba ilmu di pesantren asuhan Kiai Bonondo, pakde atau pamannya sendiri. Selama di pesantren, beliau tidak jauh berbeda dengan santri-santri yang lain – tidak ada keistimewaan untuk keponakan kiai. Materi pelajaran kesukaannya di pesantren adalah ilmu nahwu dan ilmu sharaf, dan beberapa ilmu lainnya. Di tahun-tahun terakhir nyantri di pesantren, seperti halnya anak-anak santri di masa itu, Kayubi ingin masuk bergabung ke Barisan Hizbullah. Barisan Hizbullah adalah sebuah laskar rakyat yang dibentuk oleh Masyumi usai Proklamasi Kemerdekaan 1945. Namun orang tuanya tidak mengizinkan. Tapi semangat beliau tetap menyala untuk masuk berjuang ke gelanggang perang membela agama dan negara. Patriotismenya tidak pernah pupus dalam hatinya.
Sepulang dari pesantren beliau langsung mendaftar ke dalam Barisan Hizbullah di Ponorogo. Hingga sempat maju ke medan perang ketika Belanda menggelar Agresi Militer pertama di bulan Juli 1947. Tak lama kemudian dari Hizbullah, beliau bergabung ke dalam tentara reguler, bergabung ke TNI, setelah adanya perintah peleburan seluruh dewan kelaskaran ke dalam wadah tentara nasional di tahun 1947. Ketika Pemberontakan FDR/PKI di Madiun terjadi pada tahun 1948, Kayubi ikut ke dalam kancah perjuangan menumpas aktor-aktor pemberontakan dan pengkhianatan terhadap NKRI itu. Operasi militer beliau gelar dari Madiun hingga ke Magetan dan Ponorogo. Demikian pula, ketika Agresi Militer II tentara Belanda menyerang Republik Indonesia hingga masuk ke kota Madiun, Kayubi juga ikut dalam perjuangan gerilya melawan pendudukan tentara asing itu.
Usai revolusi kemerdekaan, tahun 1952 Kayubi meninggalkan dunia militer dan masuk ke dalam jajaran pegawai Departemen Agama. Awalnya beliau bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Jenangan, Ponorogo, mengurus masalah-masalah pernikahan dan cerai. Pada tahun 1953 beliau pindah ke Blitar bersama keluarganya, karena dipindah-tugaskan ke Bagian Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Departemen Agama Kabupaten Blitar.
Selain sibuk di kantor, Kayubi juga aktif di Kepanduan Ansor NU dan juga di organisasi NU. Tidak lama kemudian beliau dipercaya sebagai Ketua Pandu Ansor NU Kabupaten Blitar, merangkap Sekretaris PCNU Blitar (1953-1955). Ketika Kwartir Nasional Pandu Ansor menggelar kegiatan perkemahan Jambore Nasional di Jakarta pada tahun 1954, Kayubi memimpin satu rombongan mengikuti acara itu di daerah Kemayoran.
Kayubi ikut Partai NU yang memisahkan diri dari Masyumi dan aktif berkampanye dalam Pemilu 1955. Hasilnya, Partai NU menduduki posisi ketiga secara nasional, dan mengantarkan Kayubi terpilih sebagai salah seorang anggota DPRD Kotamadya Blitar dari unsur Partai NU. Setelah Dekrit Presiden di bulan Juli 1959, beliau terpilih kembali sebagai anggota DPRD Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU hingga tahun 1968. Tahun 1968 terpilih sebagai salah seorang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Blitar dari unsur Partai NU. Jabatan itu diembannya hingga tahun 1977.
Di masa-masa ketegangan NU-PKI di Jawa Timur di tahun 1964-1965, Mohammad Zainuddin Kayubi memainkan peranan penting. Pada tahun 1964 beliau terpilih sebagai Ketua Pengurus Cabang GP. Ansor Blitar. Diakui, masa-masa memimpin Ansor merupakan masa yang sangat berat bagi beliau – apalagi di daerah yang merupakan basis PKI. Waktu itu Ansor harus berhadapan dengan pemuda-pemuda PKI dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Disahkannya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan UU Bagi Hasil Pertanian tahun 1960 mendorong pemuda-pemuda PKI yang tergabung dalam BTI melakukan aksi-aksi sepihak menyerobot tanah-tanah masyarakat. Di Jawa Timur, tanah-tanah yang diserobot itu kebanyakan adalah tanah-tanah pesantren atau tanah milik kiai. Slogan BTI saat itu adalah “Serobot dulu, urusan belakangan”. Akhirnya bentrokan pun tak terelakkan antara kalangan Ansor dan BTI di desa-desa. Tak terkecuali di desa-desa sekitar Blitar, Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. Tanah-tanah kiai banyak dipatok semena-mena. Bentrok fisik pun terjadi hampir setiap hari di beberapa tempat.
Seluruh PC GP Ansor di Karesidenan Kediri melakukan rapat untuk membentuk Koordinator Daerah (Korda) atau Komando Daerah (Komda), semacam keamanan gabungan yang melibatkan beberapa unsur dalam Ansor daerah. Kayubi kemudian ditunjuk sebagai ketua Komda. Tidak lama setelah itu Komda menyepakati didirikannya lembaga semi-militer berbasis masyarakat di bawah naungan GP Ansor. Fungsinya adalah memperkuat pengamanan tanah-tanah milik masyarakat dan pesantren. Atas dasar pemikiran itulah Kayubi berinisiatif membentuk Barisan Ansor Serbaguna (disingkat Banser). Dan Kayubi sendiri diangkat sebagai pimpinan atau “jenderal” Banser.
Selama masa genting tersebut, rumah Kayubi yang berada di Jl. Semeru (sekarang Jl. Sudancho Supriadi) disulap menjadi markas Banser. Sementara keluarganya sendiri tinggal di rumah lain. Bekas pabrik limun berukuran 8 x 25 meter itu tak ubahnyasebagai markas tentara. Ada penjagaan, sandi-sandi tertentu, tempat senjata, dapur, dan beberapa ruang rapat. Setiap hari tempat itu tidak pernah sepi dari anak-anak muda yang datang dari berbagai daerah. Rata rata mereka membawa aneka macam senjata. Memang itulah Markas Komando Banser Karesidenan Kediri, yang tidak lain adalah rumah Kayubi.
Hampir setiap hari Kayubi keliling seluruh daerah yang menjadi wilayah kerjanya untuk melakukan Kursus Kader Ansor. Meski suasana sedang genting, tidak jarang beliau datang sendirian ke pelosok-pelosok desa. Ia memang seorang pemberani. Postur tubuhnya tidak terlalu besar, tapi mentalnya benar-benar kuat bagai baja. Di setiap lokasi kursus kader Ansor, beliau selalu memompa semangat anak-anak muda Banser agar pantang mundur dalam menghadapi lawan. Saat itu hampir semua anggota Banser mendapatkan pelatihan dari tentara. Ada yang melalu Raider, Kodam, Kodim, hingga RPKAD. Kebanyakan mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Jadilah banyak anggota Banser yang memiliki mental tentara. Sedangkan gemblengan mental spritual dilakukan oleh para kiai pengasuh pondok pesantren.
Untuk melindungi tanah-tanah rakyat dan pesantren dari aksi-aksi BTI-PKI itu, pihak Ansor dan Banser mengangkat slogan: “Pukul dulu, urusan belakangan”. Aksi-aksi ini kemudian mengundang intervensi pemerintah pusat. Pimpinan pusat GP Ansor kemudian dipanggil oleh Dr. Subandrio, waktu itu wakil perdana menteri dan kepala intelijen, yang dikenal berpihak pada PKI. Mereka dimarah-marahi, bahkan mendapat ancaman kalau GP Ansor akan dibubarkan oleh orang dekat Sukarno itu. Namun, ancaman tersebut ternyata tidak membuat pimpinan Ansor lainnya bergeming, bahkan jalan terus membela hak-hak rakyat itu. Hingga akhirnya pasca G30S/PKI di tahun 1965, PKI dan BTI hancur berantakan. Dan sebagian orang-orang BTI pun kemudian berlindung ke orang-orang NU, dan kembali ke kiai dan pesantren.
Kayubi sendiri pernah diminta oleh Kapten Hambali dari Kodim Blitar yang meminta agar para kader GP. Ansor dan Banser bersedia direkrut dalam Operasi Trisula tahun 1968 untuk menumpas sisa-sisa perlawanan PKI di daerah Blitar selatan. Pasukan Banser diminta mengenakan pakaian Hansip seusai dengan Perintah Operasi 02/5/1968 yang di antaranya menyebut penggunaan bantuan kekuatan Hansip di wilayah Blitar selatan dan Tulungagung. Lalu, mengapa mesti Ansor dan Banser? Tanya Kayubi. Sebab Pemuda Ansor tidak diragukan lagi ke-Pancasila-annya, jawab Hambali.
Meski Kayubi dikenal galak terhadap pemuda-pemuda PKI, namun tidak demikian dalam urusan politik. Selama menjadi anggota DPR-GR Kabupaten Blitar di tahun 1960-an, Kayubi berkawan akrab dengan para politisi PKI. Salah seorang kawan akrabnya adalah Putmainah (kini sudah berusia 84 tahun). Politisi perempuan dan anggota Fraksi-PKI di DPR-GR Kabupaten Blitar ini jarang berbeda pendapat dengan Kayubi. “Kami sering boncengan motor bersama pas masuk kantor. Pak Kayubi selalu menyapa saya dengan panggilan Mbak Yu,” tutur Putmainah, yang pernah ditahan 10 tahun oleh pemerintah Suharto karena keterlibatannya di PKI, saat ditemui di rumahnya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Putmainah adalah putri KH. Mansyur (tokoh Serikat Islam Merah Blitar dan juga seorang penghafal al-Quran atau hafidz) dan juga cucu KH. Abdurrahman (mantan anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Jawa Timur). Itu sebabnya Kayubi begitu hormat pada Ketua Gerwani Blitar ini. Menurut Putmainah, setiap ada musyawarah membahas program kerja di DPRG-GR, antara dia dan Kayubi hampir selalu menemukan suara bulat. Dengan kata lain, komunikasi di antara mereka bisa berjalan mudah. Dan itu bukan hanya di dalam gedung parlemen. Dalam setiap agenda kerja turun ke bawah (turba), mereka selalu berjalan bersama untuk mencari solusi bersama dalam menghadapi persoalan yang muncul di bawah antara kader-kader kedua partai ini, seperti soal serobot tanah itu. Soalnya, bagi Putmainah, PKI-NU sama-sama memiliki spirit yang kurang lebih sama dalam menolak segala bentuk penjajahan dan penindasan satu manusia atas manusia lainnya.
Atas prestasinya yang gemilang dalam merintis dan membentuk Banser, pada tahun 1967 beliau mendapatkan penghargaan Bintang Satya Lencana Gerakan dari Pimpinan Pusat GP. Ansor. Penghargaan ini hanya dikhususkan untuk Kayubi, sang jenderal Banser ini. Pada tahun 1978 beliau pensiun dari kantor Departemen Agama Blitar. Setahun kemudian beliau bersama keluarga kembali ke tanah kelahirannya di Ponorogo.
Mohammad Zainuddin Kayubi wafat pada hari Rabu 2 Desember 1983 dalam usia 57 tahun dan dimakamkan di Makam Taman Arum Ponorogo.
“MZ. Kayubi: Jenderal Banser yang Terlupakan”. Majalah Aula (terbitan PWNU Jawa Timur), edisi April 2009.
Solichan Arif (wartawan Koran Sindo), “Putmainah: Sekelumit Cerita tentang Hubungan PKI dengan NU”. Seputra Indonesia, 30 September 2014.
Komentar
Posting Komentar